Minggu, 16 Februari 2014

Klenik Nomor Ayat Al-Quran Terhadap Bencana

Ternyata penomoran surat dan ayat di Al-Quran bukan ditetapkan langsung dari langit. Penomoran itu dilakukan oleh manusia, sebagaimana perbedaan penulisan teks Al-Quran di sekian banyak mushaf yang pasti berbeda jumlah halamannya.

Lafadz Al-Quran itu memang dari Allah, tetapi penomoran surat dan ayat hanya buatan manusia, meski tetap berdasarkan petunjuk dari Rasulullah SAW. Tetapi penomoran itu tidak baku, sangat mungkin berbeda dan bervariasi. Sebuah SMS masuk ke hp saya. Entah siapa yang mengirim, saya tidak tahu karena namanya tidak tercatat di phonebook.

Tapi isi SMS itu menarik untuk direnungkan. Orang di seberang sana bertanya, bolehkah mempercayai SMS dan kabar yang beredar bahwa ternyata ada kesesuaian antara waktu terjadinya gempa di Padang dan Jambi dengan nomor ayat di Al-Quran. SMS yang banyak beredar menyebutkan bahwa gempa Padang terjadi pada jam 17.16, gempa susulan 17.58, esoknya gempa di Jambi jam 8.52.

Konon angka-angka itu kalau dicocokkan dengan nomor surat dan ayat Al-Quran ternyata terkait dengan bencana. Lalu ramailah pembicaraan seolah-olah Al-Quran menyimpan informasi tentang gempa bumi dan data jam kejadiannya.

Contoh Pertama:

Gempa di Padang terjadi jam 17.16. Kalau kita buka Al-Quran pada surat yang ke-17 ayat ke-16, kita akan dapati terjemahannya sbb):

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.

Oleh banyak orang, ayat yang bercerita tentang penghancuran suatu negeri ini ada kaitannya dengan gempa di Padang, karena nomor ayat dan suratnya cocok dengan jam kejadiannya, yaitu jam 17:16.

Contoh Kedua:

Gempa susulan di Padang terjadi pada jam 17.58. Kalau kita buka surat ke-17, Al Isra ayat 58, kita akan menemukan terjemahanannya sbb :

Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuz).

Wah, kok kayak kebetulan ya, kok ngepas sekali ayat itu dengan jam kejadian gempa susulan?, kira-kira begitu kita diajak berpikir. Apalagi masih ditambah dengan info yang berikutnya :

Contoh Ketiga:

Gempa di Jambi hari berikutnya terjaid pada pukul 8.52. Surat ke-8 itu adalah Surat Al Anfaa. Kalau kita buka ayat nomor 52, terjemahannya sbb :

Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Firaun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang sebelumnya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Amat Keras siksaan-Nya.

Jawaban

Saat menerima SMS itu saya tidak langsung menjawab, sebab memang dalam posisi yang tidak siap untuk menjawab, apalagi hanya pakai SMS. Tapi kemarin ketika meyampaikan ceramah di Majelis Taklim Telkomsel Gatot Subroto, ada pertanyaan serupa yang membuat saya tidak bisa mengelak untuk menjawab. Jawaban saya adalah bahwa intinya hal itu tidak benar. Sangat tidak benar bahkan. Kenapa? Ada banyak ketidak-sesuaian dan ketidak-sambungan logika kalau mau dipaksa-paksakan.

Pertama : Al-Quran Tidak Mengenal Jam

Sistem penghitungan waktu yang dikenal Al-Quran hanya penghitungan hari, bulan dan tahun. Adapun sistem penghitungan waktu dengan jam yang kita gunakan saat ini, hanya buatan manusia. Berlakunya hanya berlaku di zaman kita ini saja. Pada saat Al-Quran diturunkan 14 abad yang lalu, manusia belum mengenal pembagian waktu yang sehari 24 jam. Di satu sisi, Al-Quran adalah kitab yang abadi, sementara penggunaan sistem waktu dan jam akan selalu berubah.

Bagaimana mungkin Al-Quran menyimpan pesan yang hanya dikhususkan untuk satu zaman saja?

Di masa mendatang boleh jadi kita akan meninggalkan sistem penghitugan jam yang sekarang ini dengan sitem yang lain. Kalau sehari sekarang ini kita hitung menjadi 24 jam, boleh jadi kapan-kapan kita buat menjadi 100 jam dengan ukuran sama yaitu sehari semalam. Atau boleh jadi kita akan menggunakan sistem jam bintang (baca:stardate) seperti yang diperkenalkan dalam serial film Startrek.

Kalau pakai stardate, gempa di Padang yang jam 17:16 itu adalah -313252.8234398783. Masih minus karena stardate baru akan dimulai pada 1 Januari tahun 2323. Lalu siapa yang menetapkan bahwa satu hari terdiri dari 24 jam, 1 jam terdiri dari 60 menit, dan 1 menit terdiri dari 60 detik?

Yang pasti ketentuan itu tidak datang dari langit sebagai wahyu. Konon besaran itu diambil dari peradaban Babylonia yang mengenal sistem penghitungan sexagesimal yang berbasis angka (60). Sedangkan istilah `jam` konon sudah digunakan oleh peradaban Mesir kuno sebagai 1/24 dari mean matahari. Yang jadi pertanyaan, apakah Al-Quran mengakui hitungan-hitungan itu lalu menyelipkan informasi di sela-sela nomor ayat? Kok jadi mirip film X-files?

Kedua : Jam Kita Adalah Jam Politis

Selain Al-Quran tidak mengenal penghitungan waktu dengan jam, pada dasarnya sistem jam yang kita gunakan ini bersifat politis. Gempa di Padang itu hanya dianggap terjadi pada jam 17:16 kalau menurut hitungan waktu Indonesia Bagian Barat.

Karena Padang itu terdapat di wilayah NKRI. Tapi seandainya -ini hanya seandainya- kota Padang itu bukan bagian dari Negara Indonesia, tentu gempa tidak terjadi pada jam 17:16, tetapi bisa saja malah jam 18:16 atau jam 16:16. Semua tergantung kebijakan pemerintahannya.

Kok gitu?

Ya memang begitu. Mari kita buat pengandaian. Seandainya kota Padang itu bagian dari Singapura, maka kejadian gempa itu pastinya bukan jam 17:16, tetapi jam 18:16. Sebab meski letaknya lebih di Barat dari Jakarta, tapi secara kebijakan Pemerintah Singapura menetapkan jam mereka lebih dulu dari Indonesia.

Kalau Jakarta atau WIB itu GMT+7, ternyata Singapura malah GMT+8. Padahal posisi Singapura lebih ke Barat dibandingkan Jakarta. Seharusnya Jakarta lebih dulu dari Singapura. Tapi sekali lagi karena ini hanya urusan politis dua negara yang beda pemerintahan, maka akhirnya Singapura yang lebih dekat ke kota Padang malah punya jam yang lebih dulu dari jam Jakarta.

Jadi angka 17:16 yang katanya merupakan surat ke-17 ayat ke-16, kalau dikait-kaitkan dengan jam kejadian gempa Padang, tentu 100% dusta, hanyalah ilusi, hayal, dan tidak tepat.

Kenapa?

Karena penetapan hitungan jam itu bersifat nisbi. Salah satu bukti bahwa penetapan jam itu semata-mata politis adalah kalau kita berada di negeri sub-tropis. Setiap ganti musim baik dari musim panas ke musim dingin atau sebaliknya, pemerintah punya kebijakan untuk mengubah atau melompat jam secara massal. Yang tadinya jam 07.00 pagi, secara massal di bawah perintah penguasa, rakyat diminta mengubah jamnya jadi jam 08.00. Heboh kan?

Konon sejarah gonta-ganti jam ini belum lama. Awalnya dimulai pada saat krisis minyak pada tahun 1970-an. Waktu krisis minyak tersebut, harga minyak menjadi berlipat ganda dan minyak pun menjadi barang langka.

Berhubung minyak diperlukan untuk seluruh industri dan berbagai keperluan sehari-hari lainnya, pemerintah Swiss (dan beberapa negara Eropa lainnya, kalau nggak salah) memutuskan memajukan satu jam.

Dengan cara itu berarti negara ini menghemat satu jam pemakaian minyak, lantaran satu jam dianggap hilang. Jadi kalau ditetapkan pada tanggal sekian waktu dimajukan satu jam pada jam 12 malam, pada waktu jam menunjukkan 24.00, semua jam dimajukan menjadi jam 01.00. Ini artinya waktu antara 24.00-01.00 tidak eksis alias hilang.

Tapi kemudian `hilang`-nya waktu ini pun diganti pada waktu pergantian jam di musim dingin, dengan diundurnya waktu selama satu jam. Artinya kalau tanggal X harus ganti waktu musim dingin pada jam 12 malam, sewaktu jam menunjukkan pukul 24.00, seluruh jam diundur menjadi 23.00. Artinya waktu 23.00-24.00 berulang dua kali, dua jam. Impas kan.

Ribet ya?

Tapi intinya saya cuma mau bilang bahwa penghitungan jam itu sangat nisbi dan sangat politis. Tidak layak Al-Quran memberi informasi berdasark kebijakan politis sebuah pemerintahan.

Ketiga : Sistem Penomoran Ayat Quran Cuma Ijtihad Manusia

Lafadz Al-Quran memang dari Allah SWT yang sampai kepada kita sepanjang 14 abad dengan proses periwayatan yang mutawatir. Tetapi urusan penomoran ayat-ayatnya ternyata tidak merupakan ketetapan dari Allah SWT. Karena itulah kita menemukan para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah total ayat Al-Quran.

Ternyata jumlahnya yang konon 6.666 ayat itu malah tidak ada rujukannya. Cobalah iseng-iseng ambil kalkulator lalu jumlahkan semua ayat yang ada di 114 surat, hasilnya pasti bukan 6.666. Lho kok?

Perbedaan dalam menghitung jumlah ayat ini sama sekali tidak menodai Al-Quran. Kasusnya sama dengan perbedaan jumlah halaman mushaf dari berbagai versi percetakan. Ada mushfah yang tipis dan sedikit mengandung halaman, tapi juga ada mushfah yang tebal dan mengandung banyak halaman. Yang membedakanya adalah ukuran font, jenis dan tata letak (lay out) halaman mushaf.

Tidak ada ketetapan dari Nabi SAW bahwa Al-Quran itu harus dicetak dengan jumlah halaman tertentu. Lalu apa kaitannya dengan tema yang kita sedang bahas? Kaitannya adalah bahwa nomor ayat itu juga bersifat nisbi. Kalau angka jam digital menyebutkan 17:16, lalu dianggap itu merupakan kode isyarat nomor surat dan ayat di Al-Quran, maka nomor itu mau menggunakan versi yang mana?

Kalau pakai mushaf yang umumnya kita pakai memang barangkali ada kebetulannya untuk cocok, tetapi kita harus ingat bahwa ada berjuta jenis dan versi mushaf di dunia ini, dimana nomor surat dan ayat 17:16 belum tentu terkait dengan musibah gempa.

Keempat : Al-Quran Bukan Buku BMG

Al-Quran sejak awal diturunkan tidak pernah disebutkan mengandung informasi dunia teknologi. Apalagi hanya dikaitkan dengan nomor-nomor surat atau nomor-nomor ayat di dalamnya. Nomor-nomor itu 100% buatan manusia, sama sekali tidak datang dari Allah SWT.

Jadi kalau dipercayai sebagai bagian dari wahyu, sungguh sebuah kekeliruan yang fatal. Memang benar bahwa Al-Quran adalah kitab petunjuk, tetapi tentu saja bukan petunjuk yang terkait dengan hal-hal teknis. Kita tidak akan menemukan tatacara membangun gedung, membikin mobil, menangkap ikan, menanam padi di sawah, atau mengetahui kapan terjadi bencana alam.

Jelas sekali Al-Quran tidak diturunkan untuk kebutuhan seperti itu. Kalau Al-Quran diyakini sebagai buku referensi teknologi, berarti kita secara tidak langsung telah menuduh Nabi Muhammad SAW telah zalim atau tidak mengerti Al-Quran.

Kok gitu?

Ya, karena Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang sah ditugaskan untuk menjelaskan isi Al-Quran, bahkan disebutkan bahwa beliau adalah Al-Quran yang berjalan. Kalau di dalam Al-Quran itu ada info tentang kapan terjadi bencana alam, lalu Nabi SAW diam saja tidak bilang apa-apa, berarti Nabi SAW itu zalim, karena tidak memberikan peringatan dini. Itu kalau kita anggap Nabi SAW tahu semua isi Al-Quran.

Tapi kalau kita bilang bahwa Nabi SAW tidak tahu ada informasi seperti itu di dalam Al-Quran, maka kita juga telah menuduh yang salah kepada beliau. Masak ada info tentang gempa di dalam Al-Quran, Nabi SAW malah tidak tahu? Lalu buat apa jadi nabi? Nabi kok tidak tahu info dalam Al-Quran?

Lebih parah lagi, kenapa Allah SWT terkesan `menyembunyikan` info akan terjadi gempa di dalam Al-Quran? Apakah Al-Quran itu merupakan buku teka-teki? Apakah kita disuruh untuk bermain puzzle dengan nomor ayat Quran? Untuk itukah Quran diturunkan?

Betapa naifnya kalau memang begitu. Quran kitab yang agung itu ternyata tidak lebih hanya dijadikan buku teka-teki yang angka di dalamnya diotak-atik, mirip orang kecanduan judi buntut.

Astaghfirullahal-Adzhiem.

Penulis: Ustad Ahmad Sarwat (Ditulis pada 8 Oktober 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar