Sabtu, 16 Maret 2013

Pengertian Tasawuf

Imam ghozali dalam kitab Ihya’ ulumuddin, Tasawuf adalah ilmu yang membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah SWT. • Al-Syibli, Tasawuf ialah mengabdikan diri kepada Allah SWT tanpa keluh kesah. • Samnun Tasawuf adalah engkau merasai engkau tidak memiliki suatupun didunia ini, dan engkau tidak dimiliki oleh siapapun di kalangan mahluk di dunia ini. • Al-Juarairi,Tasawuf adalah berahlak dengan ahlak yang tinggi dan meninggalkan perilaku keji. • Ahmad Amnun, Tasawuf adalah ketekunan dalam ibadah, hubungan langsung dengan Allah, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang diburu orang banyak dan menghindarkan diri dari mahluk di dalam kholwat untuk beribadah. • Ibnu Kaldum dalam buku Munajat Sufi, Tasawuf adalah sebagian ilmu dari ajaran islam yang bertujuan agar seseorang tekun beribadah dan memutuskan hubungan selain Allah hanya menghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan duniawi, serta membenci sesuatu yang memperdaya manusia dan menyendiri menuju jalan Allah dalam Kholwat untuk beribadah. Kesimpulan pengertian diatas, bahwa Tasawuf ialah sebagian Ilmu ajaran islam yang membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah.seperti berakhlak yang tinggi ( mulia ).,tekun dalam beribadah tanpa keluh kesah.,memutuskan hubungan selain Allah karena kita merasai tidak memiliki suatu apapun didunia ini dan kita tidak dimiliki oleh siapapun di kalangan makhluk.,menolak hiasan-hiasan duniawi seperti kelezatan dari harta benda yang biasa memperdaya manusia, dan menyendiri menuju jalan Allah dalam Kholwat ( mengasingkan diri dari keramaian dunia ) untuk beribadah. a. Syekh Muhammad Al-Kurdi mengatakan Tasaawwuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahuai hal ihwal( perbuatan) kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihakannya dari( sifat-sifat yang buruk) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara Melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan allah dan meningglkan larangannya menuju larangannya. b. imam Ghazali megemukakan pendapat abu bakar yang mengatakan. Tasawwuf adalah budi pekerti barang siapa yang memberikan budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam bertasawwuf, maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan suluk dengan nur (petunjuk) islam dan ahli zuhud yang jiwanya menerima (Perintah) untuk melakukan beberapa akhlq (terpuji), karena mereka telah melakukan suluk nur dengan nur (petunjuk) imannya. c. mahmud amin An-Nawawi mengemukakan pendapat Al-Junaid al-Baqhdadi yang mengemukakan. Tassawwuf adalah memelihara( menggunakan) waktu . kemudian berkata: seorang hamba tidak akan menekuni ( amalan tasawwuf ) tanpa aturan, (menganggap ) tidak tepat (ibadahnya) tanpa tertuju kepada tuhan-Nya dan merasa tidak berhubungan ( dengan tuhannya) tanpa menggunakan waktu (untuk beribadah kepada tuhan-Nya) d. Sa- Suhrawardi mengemukakan pendapat ma'ruf Al-Karakhy yang mengatakan tasawwduf adalah mencari hakekat dan meninggalkan sesuatu yang ada ditangan makhluk ( kesenangan duniawi).[2] e. Harun Nasution mengemukakan bahwa tasawwuf mengemukakan kata yang bisa dihubungkan dengan kata tasawwuf ada 4 yaitu As-habus Suffah( orang-orang yang ikut nabi pindah kemadinah) Saf( barisan) sufi ( suci ) suf ( wol) semua itu bisa dihubungkan dengan tasawwuf. As-Habus Suffah ialah orang-orang muslim mekkah yang ikut Nabi hijrah kemadinah dan ia tidak mempunyai harta apapun terkecuali iman, mereka tidak punya rumah sehingga ia tidur di depan masjid madinah dengan mamakai selimut. Dari sinilah muncullah istilah tasawwuf yang menggambarkan hidup kepasraan para sahabat dalam menjalani hidup yang serba kekurangan[3] keterangan diatas dapat dikemukakan bahwa tasawwuf mempunyai pengertian Suatu ilmu yang dengannya dapat mengetahui (membahas) jiwa yang buruk dan terpuji. Kemudian pada kelanjutannya membahas bagaimana cara membersihkan jiwa yang buruk untuk menuju keridhaan ilahi yaitu dengan menyucikan jiwa, beribadah, hidup sederhana, meninggalkan larangan tuhan yang pada hakekatnya untuk mempunyai perilaku yang terpuji. Manusia untuk membersihkan jiwanya harus lebih banyak melakukan spiritual dengan menjauhi kehidupan duniawi, waktu yang dimiliki manusia lebih banyak digunakan beribadah. Pengertian Tasawuf Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme (bahasa arab: تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi[rujukan?]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia (Wikipedia bahasa Indonesia). Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa (Wikipedia bahasa Indonesia). Namun dalam perjalananya, tasawuf diperdebatkan asal usul kehadiranya. Sebagian menyebut tasawuf berasal dari agama islam, sebagian lagi menyatakan bahwa tyasawuf bukan berasal dari islam tetapi dari sinkretisme berbagai ajaran agama samawi maupun ardi. Beberpa pendapat yang menyatakan tasawuf berasal dari islam diantaranya: Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995) Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374), I, 4.] Beberapa pendapat bahwa tasawuf bukan berasal dari islam diantaranya: Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne). (Sufisme)yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz). Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan mempengaruhi aliran-aliran di daam Islam (Prof.Dr.H.Abubakar Aceh). Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non-Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur Ajaran Islam, dengan kata lain dalam Agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980). Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc) Para ahli yang menolak tasawuf sebagai bagian dari islam mengambil contoh kesalahan pemahaman tasawuf yaitu Faham Wujud. Faham wujud adalah berisi keyakinan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut paham kesatuan wujud ini mengambil dalil Al Quran yang dianggap mendukung penyatuan antara ruh manusia dengan Ruh Allah dalam penciptaan manusia pertama, Nabi Adam AS: “...Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (As Shaad; 72)” Sehingga ruh manusia dan Ruh Allah dapat dikatakan bersatu dalam sholat karena sholat adalah me-mi'rajkan ruh manusia kepada Ruh Allah Azza wa Jalla . Atas dasar pengaruh 'penyatuan' inilah maka kezuhudan dalam sufi dianggap bukan sebagai kewajiban tetapi lebih kepada tuntutan bathin karena hanya dengan meninggalkan/ tidak mementingkan dunia lah kecintaan kepada Allah semakin meningkat yang akan bepengaruh kepada 'penyatuan' yang lebih mendalam. Paham ini dikalangan penganut paham kebatinan juga dikenal sebagai paham manunggaling kawula lan gusti yang berarti bersatunya antara hamba dan Tuhan (Wikipedia bahasa Indonesia). Dasar-Dasar Qur`ani Tasawuf Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi'in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur'an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain. Meskipun terjadi perbedaan makna dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur'an yang Artinya: “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. (Q.S Asy-Syuura [42] : 20). Diantara nash-nash al-Qur'an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah dalam Q.S al-Hadid [57] ayat: 20 yang Artinya: “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut. Ayat al-Qur'an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu'min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur'an yang menjelaskan hal tersebut cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat –ayat tersebut yaitu firman Allah dalam Q.S ath-Thalaq [65] ayat : 3 yang Artinya: “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. Dianatra ayat-ayat al-Qur'an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah dalam Q.S as-Sajadah [ ] ayat : 16 yang berbunyi : yang Artinya: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap Maksud dari perkataan Allah Swt : "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya" adalah bahwa mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam”. Terdapat banyak ayat yang berbicara tentang urgensi rasa takut dan pengharapan hanya kepada Allah semata akan tetapi penulis cukupkan pada kedua ayat terdahulu. Diantara ayat-ayat yang menjadi landasan tasawuf adalah nash-nash Qura'ny yang menganjurkan untuk beribadah pada malam hari baik dalam bentuk bertasbih ataupun quyamullail diantaranya adalah firman Allah yang Artinya: Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.(Q.S al-Isra' [17] ayat : 79 yang Artinya: “Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, Maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari”. (Q.S al-Insan [76] ayat : 25-26) yang Artinya: “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka” Tiga ayat di atas menunjukkan bahwa mereka yang senantiasa menjauhi tempat tidur di malam hari dengan menyibukkan diri dalam bertasbih dan menghidupkan malam-malamnya dengan shalat dan ibadah-ibadah sunnah lainnya hanya semata-mata untuk mengharapkan rahmat, ampunan, ridha, dan cinta Tuhannya kepadanya akan mendapatkan maqam tertinggi di sisi Allah. Selain daripada hal-hal yang telah penulis uraikan sbelumnya, diantara pokok-pokok ajaran tasawuf adalah mencintai Allah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan hal ini berlandaskan kepada firman Allah swt dalam Q.S at-Taubah ayat : 24 yang Artinya: ”Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. Ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan terhadap Allah, Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya harus menjadi prioritas utama di atas segala hal, bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus melebihi di atas kecintaan kepada ayah, ibu, anak, istri, keluarga, harta, perniagaan dan segala hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata lain bahwa seseorang yang ingin mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan mendambakan tempat terbaik diakhirat hendaknya menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai kecintaan tertinggi dalam dirinya (ibnuel-mubhar.blogspot.com). Perkembangan Tasawuf Sejarah tasawuf dimulai dengan Imam Ja’far Al Shadiq ibn Muhamad Bagir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Imam Ja’far juga dianggap sebagai guru dari keempat imam Ahlulsunah yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i dan Ibn Hanbal. Ucapan – ucapan Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al Mishri, Jabir ibn Hayyan dan Al Hallaj. Diantara imam mazhab di kalangan Ahlulsunah, Imam Maliki yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far. Kaitan Imam Ja’far dengan tasawuf, terlihat dari silsilah tarekat, seperti Naqsyabandiyah yang berujung pada Sayyidina Abubakar Al Shidiq ataupun yang berujung pada Imam Ali selalu melewati Imam Ja’far. Kakek buyut Imam Ja’far, dikenal mempunyai sifat dan sikap sebagai sufi. Bahkan (meski sulit untuk dibenarkan) beberapa ahli menyebutkan Hasan Al Bashri, sufi-zahid pertama sebagai murid Imam Ali. Sedangkan Ali Zainal Abidin (Ayah Imam Ja’far) dikenal dengan ungkapan-ungkapan cintanya kepada Allah yang tercermin pada do’anya yang berjudul “Al Shahifah Al Sajadiyyah”. Tasawuf lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad k-2 H, lewat pribadi Hasan Al Bashri, Sufyan Al Tsauri, Al Harits ibn Asad Al Muhasibi, Ba Yazid Al Busthami. Tasawuf tidak pernah bebas dari kritikan dari para ulama (ahli fiqh, hadis dll). Praktik – praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran agama Islam yaitu Makkah dan Madinah, jika kita lihat dari domisili tokoh-tokoh perintis yang disebutkan di atas. Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokan ke dalam beberapa tahap : Tahap Zuhud (Asketisme) Tahap awal perkembangan tasawuf dimulai pada akhir abad ke-1H sampai kurang lebih abad ke-2H. Gerakan zuhud pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Basrah kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir. Awalnya merupakan respon terhadap gaya hidup mewah para pembesar negara akibat dari perolehan kekayaan melimpah setelah Islam mengalami perluasan wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia dan Persia. Tokoh-tokohnya menurut tempat perkembangannya : 1. Madinah Dari kalangan sahabat Nabi Muhammad Saw, Abu Ubaidah Al Jarrah (w. 18 H); Abu Dzar Al Ghiffari (W. 22 H); Salman Al Farisi (W.32 H); Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H); sedangkan dari kalangan satu genarasi setelah masa Nabi (Tabi’în) diantaranya, Said ibn Musayyab (w. 91 H); dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H). 2. Basrah Hasan Al Bashri (w. 110 H); Malik ibn Dinar (w. 131 H); Fadhl Al Raqqasyi, Kahmas ibn Al Hadan Al Qais (w. 149 H); Shalih Al Murri dan Abul Wahid ibn Zaid (w. 171 H) 3. Kufah Al Rabi ibn Khasim (w. 96 H); Said ibn Jubair (w. 96 H); Thawus ibn Kisan (w. 106 H); Sufyan Al Tsauri (w.161 H); Al Laits ibn Said (w. 175 H); Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H). 4. Mesir Salim ibn Attar Al Tajibi (W. 75H); Abdurrahman Al Hujairah ( w. 83 H); Nafi, hamba sahaya Abdullah ibn Umar (w. 171 H). Pada masa-masa terakhir tahap ini, muncul tokoh-tokoh yang dikenal sebagai sufi sejati, diantaranya, Ibrahim ibn Adham (w. 161 H); Fudhail ibn Iyadh (w. 187 H); Dawud Al Tha’i (w. 165 H) dan Rabi’ah Al Adawiyyah. Tahap Tasawuf (abad ke 3 dan 4 H ) Paruh pertama pada abad ke-3 H, wacana tentang Zuhud digantikan dengan tasawuf. Ajaran para sufi tidak lagi terbatas pada amaliyah (aspek praktis), berupa penanaman akhlak, tetapi sudah masuk ke aspek teoritis (nazhari) dengan memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal seperti, maqam, hâl, ma’rifah, tauhid (dalam makna tasawuf yang khas); fana, hulul dan lain- lain. Tokoh-tokohnya, Ma’ruf Al Kharkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al Mishri (w. 254 H) dan Junaid Al Baghdadi. Muncul pula karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoritis, termasuk karya Al Harits ibn Asad Al Muhasibi (w. 243 H); Abu Said Al Kharraz (w. 279 H); Al Hakim Al Tirmidzi (w. 285 H) dan Junaid Al Baghdadi (w. 294 H) Pada masa tahap tasawuf, muncul para sufi yang mempromosikan tasawuf yang berorientasi pada “kemabukan” (sukr), antara lain Al Hallaj dan Ba Yazid Al Busthami, yang bercirikan pada ungkapan – ungkapam ganjil yang sering kali sulit untuk dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum muslim, seperti “Akulah kebenaran” (Ana Al Haqq) atau “Tak ada apapun dalam jubah-yang dipakai oleh Busthami selain Allah” (mâ fill jubbah illâ Allâh), kalau di Indonesia dikenal dengan Syekh Siti Jenar dengan ungkapannya “Tiada Tuhan selain Aku”. Tahap Tasawuf Falsafi (Abad ke 6 H) Pada tahap ini, tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi merupakan tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya. Sebagian ahli juga memasukan Al Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami dalam aliran ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfân (Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu. Tahap Tarekat ( Abad ke-7 H dan seterusnya ) Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti tarekat Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Al Qasim Al Juanid Al Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru pada masa-masa ini tarekat berkembang dengan pesat. Seperti tarekat Qadiriyyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (Wilayah Iran sekarang); Tarekat Rifa’iyyah didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawardi (w. 563 H). Tarekat Naqsabandiyah yang memiliki pengikut paling luas, tarekat ini sekarang telah memiliki banyak variasi , pada mulanya didirikan di Bukhara oleh Muhammad Bahauddin Al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi Pencapaian Tasawwuf. Sebagaimana yang dikatakan Oleh Syekh Muhammad Al-Kurdi agar tujuan tasawwuf dapat tercapai maka harus melalui tingkatan 1. Syari'at 2. Thariqat 3. Hakikat 4. ma'rifat bila proses ini tidak dijalani secara sistematis maka bukan tasawwuf yang dicapai akan tetapi kesesatan. Karena manusia sangat ditekankan untuk menjalani syari'at dan syari'at saja tidak cukup tanpa mendidik hati sanubarinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh imam malik. Barang siapa yang berfiqh tanpa bertasawwuf maka dia akan berbuat dusta dan barang siapa yang bertasawwuf tanap berfiqh maka ia akan sesat. Sedangkan imam al-ghazali lebih menekankan untuk berakhlak, manusia tidak bertasawwuf bila mana ia tidak dapat berakhlak dengan baik. mahmud amin An-Nawawi tasawwuf dapat tercapai bila seorang hambamenggunakan semua waktu untuk beribadah dan berdzikir kepada tuhan dimanapun dan kapanpun mahmud Amin An-Nawawi lebih menekankan menjauhi hidup duniawi, tuhan maha suci untuk lebih dekat kepadanya maka manusia harus menjauhi keduniawian dan menghadap kepadanya untuk menggapai keridhaannya Perbedaan pokok antara tasawuf dan Islam Manhaj dan jalan Ialam berbeda sama sekali dgn manhaj tasawuf dan perbedaan itu mengenai hal yg sangat mendasar. Yaitu perbedaan dalam hal sumber - sumber pengambilan agama dalam akidah dan syari`ah. Dijelaskan Islam menjadikan sumber pengambilan Aqidah terbatas pada wahyu yg memeberikan kepada para Nabi dan Rasul saja hal yg kita miliki adl Al Qur`an dan As Sunnah saja. Adapun agama sufisme . Istilah Abdurrahman Abdul Khaliq yg mereka jadikan sumbernya adl bisikan yg dida`wahkan datang kepda para wali dan kasyf yg mereka da`wahkan dan tempat-tempat tidur perjumpaan dgn orang-orang mati yg dulu-dulu dan dgn Nabi Khidir a.s bahkan dgn melihat Lauh Mahfudh dan mengambil dari jin yg mereka namakan para badan halus . Adapun sumber pengambilan syari`ah bagi ahli Islam adl Al Kitab As Sunnah Ijma` dan Qiyas . Sedangkan bagi orang-orang tasawuf perbuatan syariat mereka didirikan diatas mimpi-mimpi khidhir jin orang-orang mati syaikh-syaikh semua mereka itu dijadikan pembuat syariat. Oleh krn itu jalan-jalan dan cara-cara pembuatan syariat tasawuf itu bermacam-macam. Sampai-sampai mereka mengatakan jalan-jalan menuju Allah SWT itu sebanyak bilangan nafas makhluk-makhluk. Maka tiap-tiap syaikh memiliki tarekat dan manhaj/jalan utk pendidikan dan dzikir khusus. Maka tasawuf itu adl ribuan agama aqidah dan syari`at; bahkan ratusan ribu tidak terhitung banyaknya semuanya itu dibawah apa yg dinamakan tasawuf. Dan inilah perbedaan asasi antara Al Islam dan tasawuf. Islam itu adl agama yg Muhaddad aqidahnya ibadahnya dan syari`atnya. Sedangkan tasawuf itu agama yg tidak ada batasannya tidak ada pengertian dalam aqidah ataupun syari`at-syari`atnya. Inilah perbedaan yg paling besar antara Al Islam dan tasawuf. I. Garis-garis besar Aqidah Sufisme Aqidah Sufisme mengenai Allah Orang-orang tasawuf percaya kepada Allah dgn aqidah-aqidah yg macam-macam diantaranya al-hulul seperti pendapat Al Hallaj . Faham hulul faham yg menyatakan bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu sebagai tempat-Nya setelah sifat-sifat kemanusian dalam tubuh tersebut dihilangkan. Faham hulul dalam tasawuf ditimbulkan oleh Husein Ibnu Manshur al-Hallaj yg mengajarkan bahwa Allah memiliki dua sifat dasar yaitu sifat ke-Tuhan-an dan sifat kemanusiaan . Hal tersebut dilihat dari teori kejadian makhluk-Nya sebagai berikut Sebelum Tuhan menciptakan makhlukIa hanya melihat dirinya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dgn diri-Nya. Dialog yg dalam tidak terdapat dalam kata-kata atau pun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanya kemuliaan dan ketinggian-Nya dan Dia pun cinta pada Dzat-Nya sendiri. Cinta yg tidak dapat disifatkan dan cinta inilah yg menjadi sebab wujud dan sebab dari banyak dan Ia-pun mengeluarkan dari yg tiada bentuk Diri-Nya yg mempunyai segala sifat dan nama-Nya dan bentuk tersebut adl Adam dan seterusnya. Setelah Adam tercipta dgn cara-Nya maka Ia sangat mencintai dan memuliakannya di surga dan sebagai khalifah di bumi-Nya. Kemudian akibat pendapatannya yg mengandung kemusyrikan itu maka Al-Hallaj yg lahir di FarsPersi 244H/ 26Maret 922 M. di Baghdad di bawah kekhalifahan Abbasiyah khalifah ke-18 dari 37 khalifah Al-Muqtadir bi `I-lah Selain Al-Hallaj dituduh membawa paham ang menyesatkan ia juga dituduh mempunyai hubungan dgn Syi`ah Qaramithah suatu kelompok Syi`ah garis keras yg dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yg menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah sejak Abad ke-10 sampai abad ke-11. Sumber lain menyebutkan Abu Mughits Al-Husein bin Manshur Al-Hallaj dilahirkan diPersia seorang cucu dari penganut Zoroaster dibesarkan di Irak. Tokoh inilah yg terkenal dgn “hululiyyin” dan “Ittihadiyyin” . Ia dituduh kafir dibunuh dan disalib krn empat perkara yg dituduhkan kepadanya • Karena berhubungan dgn orang-orang Qaramithah . Karena ucapannya “Aku adl Tuhan yg Haq “. Karena pengikutnya meyakini akan ke-Tuhan-an diri-nya. Karena pendapatnya tentang haji bahwa haji ke Baitullah tidak termasuk suatu kewajiban yg harus dilaksanakan. Tentang kepribadiannya banyak hal-hal yg tidak jelas. Pertama sikapnya yg sangat keras kepala membangkang dan ekstrim. Ia mengarang buku “ Al-Thawwasin” yg diteliti dan diterbitkan kembali oleh Louis Massignon . Ulama yg hidup pada masa itu diantaranya At-Thabari ahli tarikh / sejarah . Al- Asy’ari ahli ilmu kalam yg pernah berfaham Mu’tazilah selama sekitar 40 tahun kemudian berubah ke faham yg kini disebut Asy’ariyah Asya’irah dan kemudian rujuk ke manhaj salaf dgn menyusun kitab Al-Ibanah kitab tauhidyang manhaj-nya salaf namun para pengikut kini merujuknya bukan ke salaf tapi ke yg Asy’ariyah yg berdekatan dgn faham Maturidiyah. Beliau wafat tahun 935 M berarti masih hidup selama tiga tahun setelah disalibnya Al-Hallaj 923 M. Sedang Junaid Al-Baghdadi mufassir sufi pertama meninggal tahun 910 M saat itu Al-Hallaj baru berumur dua atau tiga tahun ketika umur 25 tahun Al-Hallaj dibunuh dan disalib di jembatan Baghdad lantaran fahamnya yg dinilai sangat membahayakan Islam. Dan diantara aqidah sufi yaitu wihdatul wujud di mana tidak ada pemisahan antara khaliq dan makhluk. Inilah aqidah yg terakhir yg tersebar sejak abad ketiga Hijriyah sampai hari ini dan diterapkan akhir-akhir ini oleh tiap tokoh tasawuf. Yang paling terkenal dalam aqidah ini adl Ibnu Arabi Ibnu Sab’in At-Tilmasani Abdul Karim Al-jilli Abdul Ghani An-Nablisi dan para tokoh tarekat-tarekat sufisme baru pada umumnya. Tasawuf dalam Islam Kesalahpahaman muslim tentang Tasawuf Sebagian ulama tanpa disadari membingungkan ummat mereka dengan pernyataan bahwa Tasawuf adalah dari Nasrani, Budha atau dari ajaran atau agama lainnya. Pernyataan sebenarnya adalah Tasawuf ada di Nasrani, Budha, di ajaran lainnya, begitu pula dalam Islam Lho, koq ulama kaumku bisa salah paham? Tentu saja bukankah kita yakin bahwa ulama tentu tidak maksum (terjaga dari segala kesalahan). Oleh karenanya kita sebaiknya mengikuti atau taat kepada ulama yang sudah disepakati oleh jumhur ulama. Kalau jumhur (banyak) ulama menyelisihi pendapat ulama yang kita ikuti maka kita harus lebih berhati-hati mengikuti ulama itu dengan selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits. Apakah konten Tasawuf dalam Islam ? yakni, tentang akhlak dan budi pekerti, bertobat, bertalian dengan hati (tazkiyatun nafs) , cara-cara ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, qanaah, tawakal, zuhud, ma’rifatullah dan lain-lain Apakah nama program studinya pada sekolah tinggi / universitas Islam ? Nama program studinya Akhlak / Tasawuf Selengkapnya baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/ Jadi Tasawuf adalah hanya sekedar nama atau istilah saja yang telah disepakati oleh banyak orang. Lalu apakah konten Tasawuf serupa disemua ajaran ? Ya, tentu nama atau istilah sepakat dipergunakan untuk sesuatu yang sama atau hampir sama. Jadi konten Tasawuf hampir sama disemua ajaran, tentang akhlak, jiwa, mengenal yang disembah. Yang berbeda adalah tuhan yang disembah. Dalam Islam , Tiada Tuhan selain Allah Coba kita perhatikan , di zaman modern ini , banyak kita dapati sekolah-sekolah nasrani menghasilkan murid-murid yang berhasil dalam belajarnya karena akhlak mereka yang baik seperti disiplin, tertib, gigih, tekun dan akhlak-akhlak baik lainnya Ini sunnatullah, mereka mendapat apa yang mereka usahakan Apapun di alam dunia berlaku hubungan sebab-akibat. firman Allah, yang artinya, “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami penuhi balasan pekerjaan-pekerjaannya di dunia dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun. Tetapi di akhirat tidak ada bagi mereka bagian selain neraka. Dan sia-sialah apa-apa yang mereka perbuat di dunia dan batallah apa-apa yang mereka amalkan”. (QS. Hud : 15-16) Mereka mendapatkan hasil dari segala upaya pekerjaan di dunia, namun karena mereka menyembah selainNya maka mereka diakhirat mendapatkan neraka. Naudzubillah min zalik. Lalu mengapa kita yang telah bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah, tidak berupaya berakhlakul karimah ? Mungkinkah kesalahpahaman tentang Tasawuf ini merupakan upaya untuk menjauhkan dari Allah ? Mungkinkah menjauhkan muslim dari Tasawuf merupakan upaya agar muslim tidak dapat berkomunikasi dengan Allah, bertemu dengan Allah, berinteraksi dengan Allah ? Sadarilah bahwa orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan pada mukmin sangat berkeingingan untuk “memisahkan” muslim dengan tasawuf/akhlakul karimah dengan cara membuat cerita-cerita mistik berlebihan, memberikan paradigma, stigma, definisi negatif pada tasawuf dalam Islam. Sungguh seorang muslim yang mengenal tasawuf dalam Islam atau akhlakul karimah maka mereka akan mempunyai kesadaran pada realitas peran dan fungsi di dunia. Kesadaran inilah yang sangat ditakuti oleh orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan pada mukmin. Kesadaran akan peran dan fungsi manusia di dunia sebagai hamba Allah. Kesadaran bahwa tiada daya upaya selain pertolongan/izin Allah. Marilah kita mendalami dan menjalankan pokok-pokok ajaran dalam Islam secara menyeluruh (kaffah), sebaiknya tidak menolak/meningkari satu pokokpun. Pokok-pokok ajaran dalam Islam yakni, , Islam (rukun Islam, fiqih), Iman (rukun Iman, Ushuluddin), Ihsan (akhlak, Tasawuf). Kita mendalami dan menjalankan keseluruhan pokok-pokok ajaran dalam Islam agar menjadi muslim yang sholeh, muslim terbaik, muslim yang ihsan atau muhsinin yakni muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah. Seolah-olah melihat Allah yang timbul dari akhlakul karimah = keadaan sadar (kesadaran) atau perbuatan/perilaku secara sadar dan Mengingat Allah. Setiap perilaku kita / akhlak kita harus dengan mengingat Allah, seluruh waktu kita penuh berinteraksi dengan Alllah Berinteraksi dengan Allah dengan cara berinteraksi dengan firman-firmanNya yakni Al-Qur’an. Seluruh perbuatan / akhlak kita harus selalu sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits. Rasulullah mengatakan “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad). “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S Al-Ahzab : 21). Ada beberapa kemungkinan terjadinya kesalahpahaman dalam mengenal Tasawuf. Kesalahpahaman timbul bisa dikarenakan belum dapat memahami apa yang disampaikan oleh ulama Tasawuf. Ulama Tasawuf kadang mengunakan bahasa atau perumpamaan yang tidak mudah dipahami oleh orang awam. “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS An Nuur [24]:35 ) Kesalahpahaman bisa pula timbul dikarenakan yang menyampaikan tasawuf adalah dukhala ilmi artinya ahli ilmu (ulama) namun bukan ahli dalam bidang tasawuf. Sehingga ulama tersebut sesungguhnya menyampaikan sesuatu yang tidak dipahaminya. “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS Luqman [31]:6 ) Sehingga orang yang menerima tentang tasawuf karena dia tidak paham atau karena dia mendapatkan dari dukhala ilmi , ikut-ikutan menyampaikan kepada orang lain tentu tanpa pengetahuan yang sebenarnya, sehingga mereka mengolok-olok tasawuf. Ketidak hati-hatian ini akan memperoleh azab yang menghinakan. Wallahu a’lam Marilah kita dalami dan jalankan Tasawuf dalam Islam. Wassalam Ada pula aqidah sufi yanfg namanya ittihad yaitu bersatunya seorang sufi sedemikian rupa dgn Allah SWT setelah terlebih dahulu melalui penghancuran diri dari keadaan jasmani dan kesadaran rohani utk kemudian berada dalam keadaan baka` Paham ittihad pertama kali dikemukakan oleh sufi Abu Yazid al-Bustami Pada suatu waktu dalam pengembaraannya setelah shalat Subuh Yazid Al-Bustami berkata kepada orang-orang yg mengikutinya”Innii ana Allah laa ilaaha illaa ana fa`budnii .” Mendengar kata-kata itu orang-orang yg menyertainya mengatakan bahwa al-Bustami telah gila. Menurut pandangan para sufi ketika mengucapkan kata-kata itu al-Bustami sedang berada dalam keadaan ittihad suatu maqam tertinggi dalam paham tasawuf. Dalam keadaan ittihad seorang sufi sering mengucapkan kata-lata yg aneh seakan-akan ia mengaku Tuhan seperti yg diucapkan al-Bustami diatas. Al-Bustami juga pernah mengucapkan kata-kata”Subhani subhani ma a`dhama sya`ni .” Al-Bustami juga berkata”Laisa fi al-jubbah illa Allah .” Kata-kata seperti itu disebut syathahat . Dalam pandangan sufi kata-kata itu bukan keluar dari seorang sufi tetapi kata-kata Allah SWT melalui lisan seorang sufi tetapi sedang dalam keadaan ittihad. Bukan Dzat Allah SWT yg berbicara tetapi aspek Allah SWT yg ada pada diri sufi itulah yg sedang berbicara. Betapa jauh kepercayaan sufi itu dari Islam. Allah SWT disamakan dgn jin atau syetan yg masuk kediri manusia hingga manusianya menjadi kesurupan dan bicaranya ngaco hanya saja dinamakan syathahat yaitu bicara ngaco namun justru dianggap telah mencapai tingkatan tertinggi yg mereka tuduhkan yakni ittihad menyatu dgn Tuhan. Na`udzubillaahi min dzaalik dari aqidah yg amat sesat itu. Hanya saja aqidah sesat ini ditampilkan dgn nada miring berupa pembelaan samar dibuku yg disebut Ensiklopedia Islam di Indonesia ini yg ditangani dan ditulis oleh orang-orang IAIN Jakarta dan lainnya yg memang ada seorang profesor yg dikenal sebagai pengajar tasawuf sekaligus pembela tasawuf. Pak profesor itu pernah mengajar tasawuf kepada saya dan teman-teman 40-an orang di Jakarta 1997 yg rata-rata mempunyai jama`ah dan keluaran perguruan tinggi Islam dan Insya Allah mampu membaca kitab. Saya katakan pada Pak Profesor tasawuf itu dalam perkuliahan bahwa tasawuf itu bukan dari Islam mengotori Islam. Apa itu kasyf yg dibeberkan Abu Hamid Al-Ghozali ? Itu bukan ajaran Islam krn teori itu Jayabaya yg sama sekali bukan orang Islam pun kemungkinan bisa dgn istilah yg dikenal dgn “ramalan Joyoboyo“. Disamping itu Al-Ghazali tidak memperhatikan Islam secara penuh. Dia masih hidup selama 25 tahunan ketika perang salib berlangsung yaitu perang besar dan berkepanjangan antara Muslimin dgn Kristen. Namun sebagai ilmuwan Al Ghazali tidak terdengar adanya perhatian dia tentang perang jihad yg sangat besar itu baik itu tulisan ataupun pidato padahal dia sangat rajin mengarang. Bahkan di Jawa Sunan Mangkunegoro IV yg diangkat-angkat sebagai orang yg termasuk tokoh sufi ternyata dia itu sendiri jelas-jelas menulis syair yg menyatakan bahwa dirinya tidak sholat. Jadi tasawuf itu jelas bukan ajaran Islam bahkan mengotori Islam tutur saya . Bagaimana reaksi Pak profesor yg bukan sekedar mengenalkan apa itu sufi namun memang pembawa ajaran tasawuf itu ? Tasawuf bukan berasal dari islam? Dalam sejarahnya, tasawuf tak pernah lepas dari hujatan orang. Menurut mereka, tasawuf adalah bid’ah, mengada-adakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada dala agama. Bahkan, tasawuf adalah suatu aliran yang sesat dan menyesatkan, baik karena kejahilan, motif menutupi ketidaksetiaan mereka kepada syariat, maupun malah untuk menghancurkan agama sendiri dari dalam. Apa yang menyebabkan sikap-sikap bermusuhan seperti ini terhadap tasawuf? Yang pertama adalah keyakinan tasawuf bahwa selain syariat, ada thariqah dan hakikat. Keyakinan inilah yang menyebabkan penolakansecara total terhadap tasawuf. Sedang yang kedua adalah adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu yang diungkapkan sebagian sufi, seperti hulul,ittihad,wahdah al-wujud, dan sebagainya. Keberadaan-keberadaan kepercayaan yang heterodoks (nyeleneh) dan rumit seperti ini menyebabkan para penentangnya hanya mempersoalkan kepercayaan-kepercayaan ini tanpa mesti menolak keseluruhan tasawuf-kecuali sekelompok orang yang memang cenderung mengafir-ngafirkan kelompok lain yang bukan kelompoknya. Mengenai sebab yang pertama, kaum sufi memang percaya bahwa syariat-dalam makna melaksanakan kewajiban-kewajiban keagamaan secara lahiriah dengan kriteria fiqh semata, dan bukan dalam makna agama itu sendiri-tak akan mampu membawa seorang Muslim kepada tujuan puncak keberagamaannya. Tujuan ini, menurut kaum sufi adalah hakikat (haqiqah), sesuatu yang besifat batiniah dan pada akhirnya berpuncak pada hilangnya ego (nafs) dalam Tuhan secara total,serta menyatunya (tauhid) manusia kembali (ma’ad) dengan Tuhan yang juga sumber- awal (mabda’)-Nya. Untuk mencapai tingkat ini orang harus menjalani thariqah, yakni maqamat dan ahwal yang merupakan esensi tasawuf itu sendiri. Seperti “syariat” juga, istilah thariqah bermakan “jalan”. Hanya saja, jika “syariat” berarti jalan raya, “thariqah” berarti jalan kecil atau sempit. (Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa menempuh thaiqah jauh lebih sulit ketimbang menempuh “syariat”). Nah, dalam konteks ini, syariat “hanyalah” kendaraan untuk thariqah, dan thariqah, pada gilirannya, adalah kendaraan untuk mencapai hakikat. Nah, sebagai konsekuensi keyakinan seperti ini, terkadang-dalam segala kesetiaannya kepada syariat- kaum sufi memiliki pendapat yang berbeda mengenai fiqh dengan pendapat para ulama fikih itu sendiri. Untuk membuktikan ketidak-islaman tasawuf, biasanya orang menggunakan dua cara. Pertama, istilah atau ilmu yang bernama tasawuf itu tak terdapat, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah. Kedua, banyak diantara kepercayaan tasawuf bisa ditunjukkan sebagai berasal, atau setidak-tidaknya sama, dengan sumber-sumber lain di luar islam-baik sumber Yunani, Kristen, Hindu, Buddha, maupun Persia. Menanggapi pandangan-pandangan seperti itu, para pendukung tasawuf biasanya mulai dengan menyatakan bahwa penamaan tasawuf hanyalah sekadar suatu cara untuk menampilkan ciri-ciri khas kelompok ini. Persis seperti Rasul dan para sahabatnya dulu menjuluki Bilal si orang Etiopia dengan Al-Habsyi, atau Shahiba atau Suhail Al-Rumi (orang Romawi), atau Salman Al-Farisi (orang Persia). Bahkan Al-quran tak cukup menyebut orang-orang Mukmin yang baik-baik dengan hanya menyebut mereka sebagai Mukmin, melainkan terkadang menyebut sebagian di antara mereka al-ta’ibin, atau sebagian yang lain al-mutashaddiqin, al-abidin, al-hamidin, al-shalihin, dan banyak lagi lainnya. Lagi pula, kenapa kenapa hanya penamaan Shufi saja yang diperdebatkan padahal dalam sejarah kaum Muslim, umat ini di kelompokkan di bawah nama-nama Mu’tazili, Asy’ari, Maturudi, Salafi, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan tak terhitung nama-nama lainnya. Selanjutnya, jika asal kata tasawuf itu dipersoalkan karena tidak terdapat di dalam Al-Quran, maka kita dapati banyak sekali ilmu yang tidak disebut di dalam Al-Quran tapi tak pernah dianggap sebagai bid’ah. Tentu saja kita harus memulai dari fiqh karena, meskipun kata ini dipakai di dalam Al-Quran, ia tak pernah dipakai untuk menunjuk tentang ilmu hukum-hukum ibadah seperti yang kita kenal sekarang ini. Lalu ada ushul al-din, musthalah al-hadits, ilmu tafsir, ilmu nahwu (tata bahasa), ilmu al- kalam, dan sebagainya. Apalagi jika argumentasi ini kita perluas hingga ke ilmu-ilmu non-agama yang, dalam sejarah islam awal diterima luas oleh kaum Muslim, seperti ilmu falak, ilmu kedokteran, ilmu kimia, dan sebagainya. Argumentasi seperti ini sekaligus menunjukkan bahwa sesuatu ilmu bisa saja berkembang melewati apa yang secara eksplisit terkandung dalam Al-Quran an Al-Sunnah, tanpa harus dianggap sebagai bid’ah atau malah sesat. Untuk menjawab keberatan orang mengenai asal-usul tasawuf, para pendukungnya cukup sigap untuk menunjukkan sumber-sumber Qurani pahamini. Tapi, sebelum itu kiranya mudah dipahami bahwa adanya kesamaan antara ajaran-ajaran tasawuf tertentu dengan ajaran agama Kristen, Hindu, Buddha, bahkan pemikiram Yunani sama sekali tak otomatis berarti bahwa ajaran-ajaran tasawuf itu sesat. Karena, jika argumentasi seperti ini dibenarkan, maka hukum fiqih tertentu yang ternyata sama dengan hukum Kristen haruslah dianggap sesat pula. Padahal kenyataan seperti ini amat banyak terjadi. Demikian pula dengan kesamaan-kesamaan pandangan dalam ilmu Kalam dengan teologi Kristen. Dan seterusnya. Lagipula, bukan hanya penganut pandangan tasawuf yang berpendapat bahwa sesungguhnya hikmah itu tercecer di mana-mana. Bukankah Rasulullah sendiri bersabda bahwa “Hikmah adalah barang kaum Mukmin yang hilang” dan bahwa kita diperintahkan untuk memungutnyadi manapun ia kita ketemukan? Belum lagi jika kita memercayai bahwa, sampai batas tertentu, ajaran-ajaran agama itu bahkan mungkinjuga pemikiran Yunani tertentu adalah perintah peninggalan para Nabi dan Rasul yang diturunkan Allah kepada berbagai bangsa. Apalagi agama Kristen, yang jelas-jelas pada awalnya adalah memang merupakan wahyu Allah, sebagaimana juga agama Yahudi dan agama-agama samawi lainnya. Ada lagi yang bersikap anti tasawuf karena dalam tasawuf terdapat paham-paham atau pandangan-pandangan yang dianggap sesat. Terhadap keberatan seperti ini, pendukung tasawuf akan balik bertanya: apakah kita harus membuang hadis hanya karena di dalamnya menyusup hadis-hadis palsu, atau mencampakkan ilmu tafsir karena di dalam sebagiannya terkandung issra’iliyyat, atau ilmu fiqih karena adanya upaya manipulatif dalam bentuk perumusan berbagai hilah yang sering kali mengada-ada, tidak bertanggung jawab, bahkan melecehkan syariat itu sendiri? Bahkan pun jika para pendukung tasawuf sepakat mengenai kesesatan-kesesatan yang ada dalam sebagian paham atau pandangan dalam tasawuf, maka yang perlu dilakukan adalah membersihkan tasawuf- persis seperti yang kita lakukan terhadap ilmu-ilmu laind ari kesesatan-kesesatan, dan bukan mencampakkannya sama sekali. Mendengar kata tasawuf, yang terbetik dalam benak adalah sesuatu yang berat. Sesuatu yang jauh, yang tidak terjangkau oleh akal awam kita. Berpakaian serba putih, memelihara jenggot panjang dan menjauhi kehidupan dunia, hidup dalam kekurangan ekonomi alias miskin dan berpakaian lusuh. Gambaran itulah yang kerap dimunculkan, saat mendengar kata tasawuf, dan juga sufi (para pelaku tasawuf). Ini masih ditambah lagi dengan pernyataan-pertanyaan ganjil atau nyleneh yang seringkali susah dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum Muslim. Seperti ucapan Al Hajjaj dan Ba Yazid Al-Busthami, misalnya `’Akulah Sang Kebenaran” (ana Al-Haqq) atau `’Tak ada apapun dalam jubah – yang dipakai oleh Busthami – selain Allah.” Lalu, bagaimana dengan pengalaman spiritual seseorang yang merasa dekat dengan Allah SWT sehingga mengaku bertemu Malaikat Jibril? Mendapat wahyu ataupun hal-hal gaib, pengalaman yang tak dialami oleh orang kebanyakan. Apakah dia juga sufi dan merupakan hasil dari menekuni jalan tasawuf? Untuk menjawab berbagai pertanyaan itu, Haidar Bagir, membahasnya dalam buku saku berukuran kecil sehingga mudah dibawa ke manapun. Dalam buku ini, Ketua Pusat Pengembangan Tasawuf Positif IIMAN ini menjelaskan dengan bahasa lugas dan relatif mudah dimengerti, mengenai tasawuf dan seluk beluknya. Haidar juga `mengampanyekan’ tasawuf positif yang berdampak nyata dalam kehidupan pelakunya sehari-hari. Pemahaman yang benar mengenai tasawuf positif, akan melahirkan seorang sufi yang berakhlak baik. Ia memberikan contoh mengenai banyaknya pengalaman spiritual Lia Aminuddin, yang mengaku sebagai Imam Mahdi. Soal seringnya Lia bercengkerama dengan Malaikat Jibril, menurut Haidar, hanya dia dan Rabb-nya yang tahu. Yang lebih penting, penulis buku ini mempertanyakan, apakah semua pencapaian spiritual itu, membuat Lia menjadi orang yang sangat concern dengan kaum dhuafa dan kaum mustadh’afin atau tidak? Tasawuf positif adalah sebuah pemahaman atas tasawuf yang berupaya mendapatkan manfaat dari segala kelebihan dalam hal pemikiran dan disiplin yang ditawarkannya seraya menghindari ekses-eksesnya, sebagaimana terungkap dalam sejarah Islam. Selain itu, betapapun diembel-embeli istilah `positif’ , tasawuf ini tetap mempromosikan konsep Allh dalam dua perwujudan, yakni perwujudan keindahan dan cinta (jamal) di samping perwujudan keagungan dan kedahsyatan (jalal). Tema tersebut menggambarkan bahwa metode tasawuf merepresentasikan sifat Islam yang, selain berorientasi syariat, juga menekankan metode cinta. Selama ini kita menganggap bahwa cinta kasih itu kaitannya dengan agama Nasrani, sedangkan Islam identik semata-mata dengan syariah, ketaatan pada hukum, disiplin pada hukum. Hal ini, menurut penulis, merupakan akibat dari pemahaman secara eksklusif atas aspek jalal (tremendum) Allah. Kita `lupa’ pada satu aspek lainnya. Membaca buku ini, kita diajak untuk mendalami sejarah tasawuf, perjalanannya, kemabukan yang dialami sufi dan penyebabnya serta manfaat dari menekuni jalan tasawuf dalam kehidupan modern kita saat ini. Tujuan terpenting dari perjalanan itu adalah lahirnya akhlak yang baik dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Buku ini mudah dipahami bagi para pemula, meskipun akan lebih baik, jika penulisan kalimat-kalimatnya tidak terlalu panjang. Terlepas dari kekurangan tersebut, buku ini memberikan manfaat bagi orang yang selama ini penasaran dengan tasawuf dan hanya mempunyai sedikit waktu untuk membacanya. (Jumat, 12 Agustus 2005/www.republika.co.id) Suka Be the first to like this post. ~ oleh lateral pada Juli 2, 2007. Ditulis dalam resensi Satu Tanggapan to “Memahami Tasawuf Modern dan Implementasinya” 1. HAKIKAT TASAWUF / SUFI Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Pendahuluan الحمدلله،والصلاةوالسلامعلىرسولاللهوآلهوصحبهأجمعين،أمابعد Istilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum kami membahas tentang hakikat tasawuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer adalah sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As Sunnah menurut apa yang dipahami salafush shalih. Sebagai bukti akan hal ini kisah khawarij, kelompok yang pertama menyempal dalam islam yang diperangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal kalau kita melihat pengakuan lisan dan penampilan lahir kelompok khawarij ini maka tidak akan ada seorang pun yang menduga bahwa mereka menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan yang besar dalam batin mereka, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjelaskan ciri-ciri kelompok khawarij ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…Mereka (orang-orang khawarij) selalu mengucapkan (secara lahir) kata-kata yang baik dan indah, dan mereka selalu membaca Al Quran tapi (bacaan tersebut) tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka)…” (HSR Imam Muslim 7/175 – Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu). Dan dalam riwayat yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…Bacaan Al Quran kalian (wahai para sahabatku) tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bacaan Al Quran mereka, (demikian pula) shalat kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka, (demikian pula) puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan puasa mereka.” (HSR Imam Muslim 7/175 – Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu) Maka pada hadits yang pertama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang ciri-ciri mereka yang selalu mengucapkan kata-kata yang baik dan indah tapi cuma di mulut saja dan tidak masuk ke dalam hati mereka, dan pada hadits yang ke dua Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang penampilan lahir mereka yang selalu mereka tampakkan untuk memperdaya manusia, yaitu kesungguhan dalam beribadah yang bahkan sampai kelihatannya melebihi kesungguhan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dalam beribadah (karena memang para Sahabat radhiallahu ‘anhum berusaha keras untuk menyembunyikan ibadah mereka karena takut tertimpa riya). Yang kemudian prinsip ini diterapkan dengan benar oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, tatkala kelompok khawarij keluar untuk memberontak dengan satu slogan yang mereka elu-elukan: “Tidak ada hukum selain hukum Allah ‘azza wa jalla.” Maka Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau radhiallahu ‘anhu yang sangat masyhur -yang seharusnya kita jadikan sebagai pedoman dalam menilai suatu pemahaman- yaitu ucapan beliau radhiallahu ‘anhu: “(slogan mereka itu) adalah kalimat (yang nampaknya) benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.” Semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati Imam Abu Muhammad Al Barbahari yang mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya Syarhus Sunnah dengan ucapan beliau: “Perhatikan dan cermatilah –semoga Allah ‘azza wa jalla merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali kamu terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai kamu tanyakan dan meneliti kembali: Apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam radhiallahu ‘anhum atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlusunnah? Kalau kamu dapati ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiallahu ‘anhu berpegang teguhlah kamu dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) kamu meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) kamu akan terjerumus ke dalam neraka!” (Syarhus Sunnah, tulisan Imam Al Barbahari hal.61, tahqiq Syaikh Khalid Ar Radadi). Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawuf ini. Definisi Tasawuf/Sufi Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi sallam (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” (hal.13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali). Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” (yang artinya: penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani” (artinya: penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya. Ada yang mengatakan: “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin radhiallahu ‘anhum yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan penghidupan yang cukup. Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34, -pen), tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf fa’ yang didobel). Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di hadapan Allah ‘azza wa jalla, pendapat ini pun salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’” yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” (orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah ‘azza wa jalla, dan pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shafawi”. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada (seorang yang bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk (ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah meskipun lafadznya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan tabi’it tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang mengatakan –dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” (kain wol).” (Majmu’ul Fatawa 11/5-6). Lahirnya Ajaran Tasawuf Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14). Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.” (Majmu’ Al Fatawa 11/5). Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya. (Majmu’ Al Fatawa 11/6). Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka.” (Talbis Iblis hal 161). Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal. 17): “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 13). Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28: “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiallahu ‘anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla, bahkan justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama Budha.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 14). Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15). Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang dari Petunjuk Al Quran dan As Sunnah(*) (*) Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawwuf”, pembahasan: Mauqif Ash Shufiyyah Min Al ‘Ibadah wa Ad Din (hal. 17-38) dengan sedikit perubahan. Orang-orang ahli tasawuf –khususnya yang ada di zaman sekarang- mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlusunnah wal Jamaah, dan menyimpang sangat jauh dari Al Quran dan As Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatan mereka di atas simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat kita simpulkan sebagai berikut: Pertama, mereka membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah (kecintaan) saja dan mengenyampingkan aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf (rasa takut) dan Raja’ (harapan), sebagaimana yang terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla bukan karena aku mengharapkan masuk surga dan juga bukan karena takut masuk neraka!?” Memang benar bahwa aspek Mahabbah adalah landasan berdirinya ibadah, akan tetapi ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek Mahabbah saja –sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf–, karena ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek Mahabbah, seperti aspek khauf, raja’, dzull (penghinaan diri), khudhu’ (ketundukkan), doa dan aspek-aspek lain. Salah seorang ulama Salaf berkata: “Barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan semata maka dia adalah seorang zindiq, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah dengan pengharapan semata maka dia adalah seorang Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ketakutan semata maka dia adalah seorang Haruriyyah (Khawarij), dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar).” Oleh karena itu Allah ‘azza wa jalla memuji sifat para Nabi dan Rasul-Nya, yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksaan-Nya. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Kebanyakan orang-orang yang menyimpang (dari jalan Allah), orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran bid’ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, mereka terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai Allah, yang bersamaan dengan itu mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menjalankan agama-Nya, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya.” (Kitab Al ‘Ubudiyyah, tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [hal. 90], cet. Darul Ifta’, Riyadh). Dari uraian di atas jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja tidaklah disebut ibadah, bahkan ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan bahkan menyebabkan dia keluar dari agama islam. Kedua, orang-orang ahli tasawuf umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah, tapi yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka dan ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka, berupa thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka. Inilah landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang ahli Tasawuf dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nasrani, yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya, kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (Nabi/Rasul) yang terjaga dari kesalahan, maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli Tasawuf) mereka menjadikan para pemimpin dan guru mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka.” Ketiga, termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi zikir-zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan selalu membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca zikir-zikir tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka menamakannya dengan “zikirnya orang-orang khusus.” Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat (Laa Ilaha Illallah) menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum”, adapun “zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah” dan “zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata (Huwa/Dia). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang menyangka bahwa kalimat (Laa Ilaha Illallah) adalah zikirnya orang-orang umum, dan zikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal “Allah”, serta zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang berdalil untuk membenarkan hal ini, dengan firman Allah ‘azza wa jalla: قُلِاللّهُثُمَّذَرْهُمْفِيخَوْضِهِمْيَلْعَبُونَ “Katakan: Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. Al An’aam: 91) (Berdalil dengan cara seperti ini) adalah kesalahan yang paling nyata yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf, bahkan ini termasuk menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena sesungguhnya kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat perintah untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, yaitu yang Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya: وَمَاقَدَرُواْاللّهَحَقَّقَدْرِهِإِذْقَالُواْمَاأَنزَلَاللّهُعَلَىبَشَرٍمِّنشَيْءٍقُلْمَنْأَنزَلَالْكِتَابَالَّذِيجَاءبِهِمُوسَىنُوراًوَهُدًىلِّلنَّاسِتَجْعَلُونَهُقَرَاطِيسَتُبْدُونَهَاوَتُخْفُونَكَثِيراًوَعُلِّمْتُممَّالَمْتَعْلَمُواْأَنتُمْوَلاَآبَاؤُكُمْقُلِاللّهُ “Katakanlah: Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang terpisah-pisah, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu tidak mengetahuinya? Katakanlah: Allah (yang menurunkannya).” (QS. Al An’aam: 91) Jadi maknanya yang benar adalah: “Katakanlah: Allah, Dialah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Kitab Al ‘Ubudiyyah hal. 117). Keempat, sikap Ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrem) orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali dan guru-guru thariqat mereka, yang bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah berwala (mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai Allah ‘azza wa jalla dan membenci musuh-musuh Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman: إِنَّمَاوَلِيُّكُمُاللّهُوَرَسُولُهُوَالَّذِينَآمَنُواْالَّذِينَيُقِيمُونَالصَّلاَةَوَيُؤْتُونَالزَّكَاةَوَهُمْرَاكِعُونَ “Sesungguhnya wali (kekasih/penolongmu) hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al Maaidah: 55) Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman: يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالَاتَتَّخِذُواعَدُوِّيوَعَدُوَّكُمْأَوْلِيَاءتُلْقُونَإِلَيْهِمبِالْمَوَدَّةِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1) Wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah ‘azza wa jalla). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Dan perlu ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan pada orang-orang tertentu, bahkan setiap orang yang beriman dan bertakwa dia adalah wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla, akan tetapi kedudukan sebagai wali Allah ‘azza wa jalla tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah. Adapun makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah, karena orang-orang ahli Tasawuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah ini, sehingga mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu tanpa dilandasi dalil dari syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut. Bahkan tidak jarang mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, bahkan kepada orang yang dikenal punya penyimpangan dalam keimanannya, seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Dan terkadang mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali” melebihi kedudukan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka: Kedudukan para Nabi di alam Barzakh Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata, “Sesungguhnya para wali mengambil (agama mereka langsung) dari sumber tempat Malaikat Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ?!” Dan mereka juga menganggap bahwa wali-wali mereka itu terjaga dari kesalahan?! Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan kebutuhannya, memberitahu tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang gaib (tidak nampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘azza wa jalla. Bahkan orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? apakah orang tersebut selalu menaati perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? (Oleh karena itulah kita tidak pernah mendengar ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa Superman dan Gatotkaca adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini (katanya) bisa terbang di udara?! –pen) …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin, maka sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah.” (Majmu’ Al Fatawa 11/215). Kemudian ternyata kesesatan orang-orang ahli tasawuf tidak sampai di sini saja, karena sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menentukan kejadian-kejadian di alam semesta ini, mengetahui hal-hal yang gaib, memenuhi kebutuhan orang-orang yang meminta pertolongan kepada mereka dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah ‘azza wa jalla dan sifat-sifat ketuhanan lainnya. Kemudian sikap berlebih-lebihan ini menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah ‘azza wa jalla, dengan membangun kuburan “para wali” tersebut, meyakini adanya keberkahan pada tanah kuburan tersebut, melakukan berbagai macam kegiatan ibadah padanya, seperti thawaf dengan mengelilingi kuburan tersebut, bernazar dengan maksud mendekatkan diri kepada penghuni kubur dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya. Kelima, termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan, yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla. DR. Shabir Tha’imah berkata dalam kitabnya Ash Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan, “Saat ini tarian sufi modern telah dipraktekkan pada mayoritas thariqat-thariqat sufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka, dimana para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita, sedangkan para murid senior dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Ketahuilah bahwa perbuatan orang-orang ahli tasawuf ini sama sekali tidak pernah dilakukan di awal tiga generasi yang utama di semua negeri islam: Hijaz, Syam, Yaman, Mesir, Magrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shalih, taat beragama dan rajin beribadah pada masa itu tidak pernah berkumpul untuk mendengarkan siulan (yang berisi lantunan musik), tepukan tangan, tabuhan rebana dan ketukan tongkat (seperti yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf), perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) yang muncul di penghujung abad kedua, dan ketika para Imam Ahlusunnah melihat perbuatan ini mereka langsung mengingkarinya, (sampai-sampai) Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku tinggalkan Baghdad, dan di sana ada suatu perbuatan yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq (munafik tulen) yang mereka namakan At Taghbir (**), yang mereka jadikan senjata untuk menjauhkan kaum muslimin dari Al Quran.” Dan Imam Yazid bin Harun berkata: “Orang yang mendendangkan At Taghbir tidak lain adalah orang fasik, kapan munculnya perbuatan ini?” (**) At Taghbir adalah semacam Qasidah yang dilantunkan dan berisi ajakan untuk zuhud dalam urusan dunia, lihat kitab Igatsatul Lahfan tulisan Imam Ibnul Qayyim, maka silakan pembaca bandingkan At Taghbir ini dengan apa yang di zaman sekarang ini disebut sebagai Nasyid Islami(?), apakah ada perbedaan di antara keduanya? Jawabnya: keduanya serupa tapi tak beda! Kalau demikian berarti hukum nasyid islami adalah…., saya ingin mengajak pembaca sekalian membayangkan semisalnya ada seorang presiden yang hobi dengar nasyid islami, apa kita tidak khawatir kalau dalam upacara bendera sewaktu acara pengibaran bendera akan diiringi dengan nasyid islami!!? Imam Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), beliau menjawab, “Aku tidak menyukainya (karena) perbuatan ini adalah bid’ah”, maka beliau ditanya lagi: “Apakah anda mau duduk bersama orang-orang yang melakukan perbuatan ini?” Beliau menjawab, “Tidak.” Demikian pula Imam-Imam besar lainnya mereka semua tidak menyukai perbuatan ini. Dan para Syaikh (ulama) yang Shalih tidak ada yang mau menghadiri (menyaksikan) perbuatan ini, seperti: Ibrahim bin Adham, Fudhail bin ‘Iyadh, Ma’ruf Al Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin Abil Hawari, As Sariy As Saqti dan syaikh-syaikh lainnya.” (Majmu’ Al Fatawa 11/569). Maka orang-orang ahli Tasawuf yang mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan cara-cara seperti ini, adalah tepat jika dikatakan bahwa mereka itu seperti orang-orang (penghuni Neraka) yang dicela oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya: الَّذِينَاتَّخَذُواْدِينَهُمْلَهْواًوَلَعِباًوَغَرَّتْهُمُالْحَيَاةُالدُّنْيَافَالْيَوْمَنَنسَاهُمْكَمَانَسُواْلِقَاءيَوْمِهِمْهَـذَاوَمَاكَانُواْبِآيَاتِنَايَجْحَدُونَ “(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al A’raaf: 51) Keenam, juga termasuk doktrin ajaran tasawuf yang sesat adalah apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan yang jika seseorang telah mencapainya maka dia akan terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tasawuf, karena asal mula ajaran tasawuf –sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingankannya dari akhlak-akhlak yang jelek dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur. Kemudian Ibnul Jauzi mengatakan: “Inilah asal mula ajaran tasawuf yang dipraktekkan oleh pendahulu-pendahulu mereka, kemudian Iblis mulai memalingkan dan menyesatkan mereka dari generasi ke generasi berikutnya dengan berbagai macam syubhat (kerancuan) dan talbis (pencampuradukan), kemudian penyimpangan ini terus bertambah sehingga Iblis berhasil dengan baik menguasai generasi belakangan dari orang-orang ahli tasawuf. Pada mulanya, dasar upaya penyesatan yang diterapkan oleh Iblis kepada mereka adalah memalingkan mereka dari (mempelajari) ilmu agama dan mengesankan kepada mereka bahwa tujuan utama adalah (semata-semata) beramal (tanpa perlu ilmu), dan ketika Iblis telah berhasil memadamkan cahaya ilmu dalam diri mereka, mulailah mereka berjalan tanpa petunjuk dalam kegelapan/kesesatan, maka di antara mereka ada yang dikesankan padanya bahwa tujuan utama (ibadah) adalah meninggalkan urusan dunia secara keseluruhan, sampai-sampai mereka meninggalkan apa-apa yang dibutuhkan oleh tubuh mereka, bahkan mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, dan mereka lupa bahwa Allah ‘azza wa jalla menjadikan harta bagi manusia untuk kemaslahatan mereka, kemudian mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyiksa diri-diri mereka, sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak pernah tidur (sama sekali). Meskipun niat mereka baik (sewaktu melakukan perbuatan ini), akan tetapi (perbuatan yang mereka lakukan) menyimpang dari jalan yang benar. Di antara mereka juga ada yang beramal berdasarkan hadits-hadits yang palsu tanpa disadarinya karena dangkalnya ilmu agama. Kemudian datanglah generasi-generasi setelah mereka yang mulai membicarakan (keutamaan) lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan mereka menulis kitab-kitab (khusus) tentang masalah ini, seperti (tokoh sufi yang bernama) Al Harits Al Muhasibi. Lalu datang generasi selanjutnya yang mulai merangkum dan menghimpun mazhab/ajaran tasawuf dan mengkhususkannya dengan sifat-sifat khusus, seperti Ma’rifah (mengenal Allah dengan sebenarnya)(??!), Sama’ (mendengarkan nyanyian dan lantunan musik), Wajd (bisikan jiwa), Raqsh (tari-tarian) dan Tashfiq (tepukan tangan), kemudian ajaran tasawuf terus berkembang dan para guru thariqat mulai membuat aturan-aturan khusus bagi mereka dan membicarakan (membangga-banggakan) kedudukan mereka (orang-orang ahli tasawuf), sehingga (semakin lama mereka semakin jauh dari petunjuk) para ulama Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang tinggi ajaran dan ilmu mereka (ilmu tasawuf), sampai-sampai mereka namakan ilmu tersebut dengan ilmu batin dan mereka menganggap ilmu syari’at sebagai ilmu lahir??! Dan di antara mereka karena rasa lapar yang sangat hingga membawa mereka kepada khayalan-khayalan yang rusak dan mengaku-ngaku jatuh cinta dan kasmaran kepada Al Haq (Allah ‘azza wa jalla), (padahal yang) mereka lihat dalam khayalan mereka adalah seseorang yang rupanya menawan yang kemudian membuat mereka jatuh cinta berat (lalu mereka mengaku-ngaku bahwa yang mereka cintai itu adalah Allah ‘azza wa jalla). Maka mereka ini (terombang-ambing) di antara kekufuran dan bid’ah, kemudian semakin banyak jalan-jalan sesat yang mereka ikuti sehingga menyebabkan rusaknya akidah mereka, maka di antara mereka ada yang menganut keyakinan Al Hulul, juga ada yang menganut keyakinan Wihdatul Wujud, dan terus-menerus Iblis menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah (penyimpangan) sehingga mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri tata cara beribadah yang khusus (yang berbeda dengan tata cara beribadah yang Allah ‘azza wa jalla syari’atkan dalam agama islam).” (Kitab Talbis Iblis, tulisan Ibnul Jauzi hal. 157-158). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan bahwa diri mereka telah mencapai tingkatan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat, maka beliau menjawab: “Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini adalah termasuk kekufuran yang paling besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya, dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya, dan mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, meyakini janji dan ancaman-Nya… Kesimpulannya: Bahwa Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla secara keseluruhan, karena dengan keyakinan tersebut berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama, mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang pada sebagian dari ajaran agama nabi Ibrahim ‘alaihi salam… Dan di antara mereka ada yang berargumentasi (untuk membenarkan keyakinan tersebut) dengan firman Allah ‘azza wa jalla: وَاعْبُدْرَبَّكَحَتَّىيَأْتِيَكَالْيَقِينُ “Sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Hijr: 99) Mereka berkata makna ayat di atas adalah, “Sembahlah Rabbmu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu…” (pada hakikatnya) ayat ini justru menyanggah (keyakinan) mereka dan tidak membenarkannya. Hasan Al Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian, kemudian Hasan Al Bashri membaca ayat tersebut di atas. Dan makna “Al Yaqin” dalam ayat tersebut adalah “Al Maut” (kematian) dan peristwa-peristiwa sesudahnya, (dan makna ini) berdasarkan kesepakatan semua ulama Islam, seperti yang juga Allah ‘azza wa jalla sebutkan dalam Firman-Nya: مَاسَلَكَكُمْفِيسَقَرَقَالُوالَمْنَكُمِنَالْمُصَلِّينَوَلَمْنَكُنُطْعِمُالْمِسْكِينَوَكُنَّانَخُوضُمَعَالْخَآئِضِينَوَكُنَّانُكَذِّبُبِيَوْمِالدِّينِحَتَّىأَتَانَاالْيَقِينُ “Apa yang menyebabkan kamu (wahai orang-orang kafir) masuk ke dalam Saqar (neraka)?, mereka menjawab: Kami dahulu (di dunia) tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan kami ikut membicarakan yang bathil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, hingga datanglah pada kami sesuatu yang diyakini (kematian).” (QS. Al Muddatstsir: 42-47) Maka (dalam ayat ini) mereka (orang-orang kafir) menyebutkan (bahwa telah sampai kepada mereka Al Yaqin/kematian) padahal mereka termasuk penghuni neraka, dan mereka ceritakan perbuatan-perbuatan mereka (yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka): meninggalkan shalat dan zakat, mendustakan hari kemudian, membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, sampai datang pada mereka Al Yaqin (kematian)…yang maksudnya adalah: datang kepada mereka sesuatu yang telah dijanjikan, yaitu Al Yaqin (kematian).” (Majmu’ Al Fatawa 401-402 dan 417-418). Maka ayat tersebut di atas jelas sekali menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal sampai ketika kematian datang menjemputnya, dan tidak ada sama sekali dalam ajaran islam apa yang dinamakan tingkatan/keadaan yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf. Sekte-Sekte Dalam Ajaran Tasawuf(*) (*) Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali dalam kitabnya “Haqiqat Ash Shufiyyah” (hal. 18-21), dengan sedikit perubahan. Kita dapat membagi ajaran tasawuf yang ekstrem ke dalam tiga sekte: Pertama, sekte Al Isyraqi, sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul (menitisnya Allah ‘azza wa jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul Wujud (bersatunya wujud Allah ‘azza wa jalla dengan wujud makhluk/Manunggaling Gusti ing Kawulo – Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan), meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam, karena ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama Budha dan Hindu. Kedua, sekte Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘azza wa jalla bisa bertempat/menitis dalam diri manusia –Maha Suci Allah ‘azza wa jalla dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang kemudian dia dibunuh dan disalib –Alhamdulillah ‘azza wa jalla- pada tahun 309 H. Dan di dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata (kitab At Thawasiin, tulisan Al Hallaj hal.130): Maha suci (Allah ‘azza wa jalla) yang Nasut (unsur/sifat kemanusiaan)-Nya telah menampakkan rahasia cahaya Lahut (unsur/sifat ketuhanan)-Nya yang menembus Lalu Tampaklah Dia dengan jelas pada (diri) makhluk-Nya dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk-Nya seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata Dalam sya’ir lain (kitab Al Washaaya, tulisan Ibnu ‘Arabi (hal.27), -Maha Suci Allah ‘azza wa jalla dari sifat-sifat kotor yang mereka sebutkan-) dia berkata: Aku adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad Maka jika kamu melihatku (berarti) kamu melihat Dia Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat kami Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang ahli tasawuf ini- adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa Al Ilah (Allah ‘azza wa jalla) memiliki dua tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis ke dalam An Nasut, maka ruh manusia –menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut. Kemudian meskipun bandit besar ini telah dihukum mati karena kezindiqannya –sehingga sebagian orang-orang ahli tasawuf menyatakan berlepas diri darinya -, tetap saja ada orang-orang ahli tasawuf yang menganggapnya sebagai tokoh besar ahli tasawuf, bahkan mereka membenarkan keyakinan sesat dan perbuatannya, dan mengumpulkan serta membukukan ucapan-ucapan kotornya, mereka itu di antaranya adalah Abul ‘Abbas bin ‘Atha’ Al Baghdadi, Muhammad bin Khafif Asy Syirazi dan Ibrahim An Nashrabadzi, sebagaimana hal tersebut dinukil oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam kitab beliau Tarikh Al Baghdad (8/112). Ketiga, sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘azza wa jalla) – maha suci Allah ‘azza wa jalla dari segala keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath Thai (Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di Damaskus. (Lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi 16/354) Dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah (seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah hal. 43) dia menyatakan keyakinan kufur ini dengan ucapannya: Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)? Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?! Dan dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam (hal.192) dia ngelindur: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali Allah.” Meskipun demikian, orang-orang ahli Tasawuf malah memberikan gelar-gelar kehormatan yang tinggi kepada Ibnu ‘Arabi, seperti gelar Al ‘Arif Billah (orang yang mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan sebenarnya), Al Quthb Al Akbar (pemimpin para wali yang paling agung), Al Misk Al Adzfar (minyak kesturi yang paling harum), dan Al Kibrit Al Ahmar (Permata yang merah berkilau), padahal orang ini terang-terangan memproklamirkan keyakinan Wihdatul Wujud dan keyakinan-keyakinan kufur dan rusak lainnya, seperti pujian dia terhadap Firaun dan keyakinannya bahwa Firaun mati di atas keimanan, celaan dia terhadap Nabi Harun ‘alaihi salam yang mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi -yang semua ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Quran-, dan keyakinan dia bahwa kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan Nabi ‘Isa ‘alaihi salam sebagai Tuhan, yang kalau seandainya mereka tidak mengkhususkannya maka mereka tidak dikafirkan. Beberapa Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran Tasawuf Berikut kami akan nukilkan beberapa ucapan dan keyakinan sesat dan kufur dari tokoh-tokoh yang sangat diagungkan oleh orang-orang ahli tasawuf, yang menunjukkan besarnya penyimpangan ajaran ini dan sangat jauhnya ajaran ini dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah. Pertama, Ibnu Al Faridh yang binasa pada tahun 632 H, tokoh besar sufi yang menganut paham Wihdatul Wujud dan meyakini bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, bahkan -yang lebih kotor lagi- dia menggambarkan sifat-sifat Tuhannya seperti sifat-sifat wanita, sampai-sampai dia menganggap bahwa Tuhannya telah menampakkan diri di hadapan Nabi Adam ‘alaihi salam dalam bentuk Hawwa (istri Nabi Adam ‘alaihi salam)?! Untuk lebih jelas silakan merujuk pada kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah (hal. 24-33), tulisan Syaikh Abdurrahman al Wakil yang menukil ucapan-ucapan kufur Ibnu Al Faridh ini. Kedua, Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya Fushushul Hikam yang berisi segudang kesesatan dan kekufuran. Dalam kitabnya ini dia mengatakan bahwa Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang memberikan padanya kitab ini, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Bawalah dan sebarkanlah kitab ini pada manusia agar mereka mengambil manfaat darinya”, kemudian Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka aku pun (segera) mewujudkan keinginan (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentukan padaku tidak lebih dan tidak kurang.” Kemudian Ibnu ‘Arabi berkata: (Kitab ini) dari Allah, maka dengarkanlah! dan kepada Allah kembalilah! (Fushushul Hikam, dengan perantaraan kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah hal. 19). Ketiga, At Tilmisani, seorang tokoh besar tasawuf, ketika dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka Fushushul Hikam bertentangan dengan Al Quran, dia malah menjawab, “Seluruh isi Al Quran adalah kesyirikan, dan sesungguhnya Tauhid hanya ada pada ucapan kami.” Maka dikatakan lagi kepadanya, “Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang ada (di alam semesta) adalah satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram (disetubuhi)?” Maka dia menjawab, “Menurut kami semuanya (istri dan saudara wanita) halal (untuk disetubuhi), akan tetapi orang-orang yang terhalang dari penyaksian keesaan seluruh alam mengatakan bahwa saudara wanita haram (disetubuhi), maka kami pun ikut-ikut mengatakan haram.” (Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, lihat Majmu’ul Fatawa 13/186). Keempat, Abu Yazid Al Busthami, yang pernah berkata: “Aku heran terhadap orang yang telah mengenal Allah, mengapa dia tetap beribadah kepada-Nya?!” (Dinukil oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’ 10/37). Dia juga berkata, “Sungguh aku telah menghimpun amalan ibadah seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi, kemudian aku masukkan ke dalam bantal dan aku letakkan di bawah pipiku.” (Hilyatul Auliya’ 10/35-36). Kelima, Abu Hamid Al Ghazali, seorang yang termasuk tokoh-tokoh ahli tasawuf yang paling besar dan tenar, di dalam kitabnya Ihya ‘Ulumud Din ketika dia membicarakan tingkatan-tingkatan dalam tauhid, dia mengatakan, “Dalam Tauhid ada empat tingkatan: …Tingkatan yang kedua: Dengan membenarkan makna lafadz di dalam hati sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya kaum muslimin, dan ini adalah keyakinannya orang-orang awam?! Tingkatan yang ketiga: Mempersaksikan makna tersebut dengan jalan Al Kasyf (penyingkapan tabir) melalui perantaraan cahaya Al Haq (Allah ‘azza wa jalla ) dan ini adalah tingkatan Al Muqarrabin, yaitu dengan seseorang melihat banyaknya makhluk (di alam semesta), akan tetapi dia melihat semuanya bersumber dari Zat Yang Maha Tunggal lagi Maha Perkasa, dan tingkatan yang keempat: Dengan tidak menyaksikan di alam semesta ini kecuali satu zat yang esa, dan ini merupakan penyaksian para Shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang ahli tasawuf dengan sebutan: Al Fana’ Fit Tauhid (telah melebur dalam tauhid/pengesaan) karena dia tidak melihat kecuali satu, bahkan dia tidak melihat dirinya sendiri… Dan inilah puncak tertinggi dalam tauhid. Jika anda bertanya bagaimana mungkin seseorang tidak melihat kecuali hanya satu saja, padahal dia melihat langit, bumi dan semua benda-benda yang benar-benar nyata, dan itu banyak sekali? dan bagaimana sesuatu yang banyak menjadi hanya satu? Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu Mukasyafat (tersingkapnya tabir) (maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli Tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama sekali tidak berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, -pen), dan rahasia-rahasia ilmu ini tidak boleh ditulis dalam sebuah kitab, karena orang-orang yang telah mencapai tingkatan Ma’rifah berkata bahwa membocorkan rahasia ketuhanan adalah kekafiran. Sebagaimana seorang manusia dikatakan banyak bila anda melihat rohnya, jasad, sendi-sendi, urat-urat, tulang belulang dan isi perutnya, padahal dari sudut pandang lain dikatakan dia adalah satu manusia.” (Lihat kitab Ihya ‘Ulumud Din 4/241-242). Al Ghazali juga berkata, “Pandangan terhadap tauhid jenis pertama, yaitu pandangan tauhid yang murni, dengan pandangan ini, Anda pasti akan dikenalkan bahwa Dialah yang bersyukur dan disyukuri, dan Dialah yang mencintai dan dicintai, ini adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah ada di alam semesta ini melainkan Dia (Allah ‘azza wa jalla).” (Ibid 4/83). Keenam, Asy Sya’rani, seorang tokoh besar tasawuf yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul Ath Thabaqat Al Kubra, yang memuat biografi tokoh-tokoh ahli tasawuf dan kisah-kisah (kotor) yang dianggap oleh orang-orang ahli tasawuf sebagai tanda kewalian. Di antaranya kisah seorang wali(?) yang bernama Ibrahim Al ‘Uryan, orang ini bila naik mimbar dan berceramah selalu dalam keadaan telanjang bulat!? (Lihat At Thabaqat Al Kubra 2/124). Kisah lainnya tentang seorang (wali Setan) yang bernama Syaikh Al Wuhaisyi yang bertempat tinggal di rumah pelacuran, yang mana setiap ada orang yang selesai berbuat zina, dan hendak meninggalkan tempat tersebut, dia berkata kepadanya: “Tunggulah sebentar hingga aku selesai memberikan syafaat untukmu sebelum engkau meninggalkan tempat ini!?” Dan diantara kisah tentang orang ini: bahwa setiap kali ada seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai, dia memerintahkannya untuk segera turun, lalu berkata kepadanya: “Peganglah kepala keledaimu, agar aku dapat melampiaskan birahiku padanya!?” (Lihat At Thabaqat Al Kubra 2/129-130). Penutup Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita semua bahwa ajaran tasawuf adalah ajaran sesat yang menyimpang sangat jauh dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah, yang dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya makin dekat kepada Allah ‘azza wa jalla, tapi malah semakin jauh dari-Nya, dan hatinya bukannya makin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda. Kemudian jika timbul pertanyaan, “Kalau begitu usaha apa yang harus kita lakukan dalam upaya untuk menyucikan jiwa dan hati kita?” Maka jawabannya adalah sederhana sekali, yaitu, Pelajari dan amalkan syariat islam ini lahir dan batin, maka dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih (untuk lebih jelasnya silakan pembaca menelaah kitab Manhajul Anbiya’ fii Tazkiyatin Nufus tulisan Syaikh Salim Al Hilali, yang ditulis khusus untuk menjelaskan masalah penting ini), karena di antara tugas utama yang dibawa para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman Allah: لَقَدْمَنَّاللّهُعَلَىالْمُؤمِنِينَإِذْبَعَثَفِيهِمْرَسُولاًمِّنْأَنفُسِهِمْيَتْلُوعَلَيْهِمْآيَاتِهِوَيُزَكِّيهِمْوَيُعَلِّمُهُمُالْكِتَابَوَالْحِكْمَةَوَإِنكَانُواْمِنقَبْلُلَفِيضَلالٍمُّبِينٍ “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali ‘Imran: 164) Maka orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al Quran dan As Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah orang yang paling bersih dan suci hati dan jiwanya dan dialah orang yang paling bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, karena semua orang berilmu sepakat mengatakan bahwa: “Penghalang utama yang menghalangi seorang manusia untuk dekat kepada Allah ‘azza wa jalla adalah (kekotoran) jiwanya.” (Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Igatsatul Lahafan dan Al Fawa’id). Oleh karena inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempermisalkan petunjuk dan ilmu yang Allah turunkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan air hujan yang Allah turunkan dari langit, karena sebagaimana fungsi air hujan adalah untuk menghidupkan, membersihkan dan menumbuhkan kembali tanah yang tandus dan gersang, maka demikian pula petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk menghidupkan, menyucikan dan menumbuhkan hati manusia, dalam hadits Abi Musa Al ‘Asy’ari radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّمَثَلَمَابَعَثَنِيَاللهُبِهِمِنَالْهُدَىوَالْعِلْمِكَمَثَلِغَيْثٍأَصَابَأَرْضاً… الحديث “Sesungguhnya permisalan dari petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…” (HSR Imam Al Bukhari 1/175 – Fathul Bari dan Muslim no. 2282) Semoga tulisan ini Allah ‘azza wa jalla jadikan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua orang yang membacanya. وصلىاللهوسلموباركعلىنبينامحمدوآلهوصحبهأجمعين،وآخردعواناالحمدللهربالعالمين. Tasawuf Modern Di jaman ini kelihatannya orang semakin membutuhkan tasawuf untuk mengatasi kompleknya kehidupan modern.? Tasawuf Modern? Ya. Begitu kompleknya permasalahan hidup sekarang ini membuat orang menjadi sering putus asa jika hanya mengandalkan akal saja. Hanya dengan kekuatan batin seseorang yang dapat bertahan dalam situasi yang rumit. Oleh karena iu tasawuf modern sebagai sarana pembelajaran kekuatan ruhani mulai dilirik orang untuk dipelajari. Tentang pengertian dari tasawufberikut ini penjelasan dari maulana zakariya ketika ia ditanya pertanyaan ini. Ia menjawab proses tasawuf dimulai dari Innamal amaalu binniyaat: sesungguhnya amal tergantung kepada niat. dan diakhiri dengan Antabudallaha kaannaka tarah : kamu beribadah seolah-olah melihatNYA.Dan proses antara perbaikan Niatsampai mencapaiIhsan itulah yang disebut dengan Mujahadah. Berikut ini adalah penjelasan ketiga hal diatas secara sederhana: 1.Niat. Niat adalah proses awal dalam melakukan suatu pekerjaan. Niat juga akan menentukan akhir suatu pekerjaan.Kalau niat awalnya ke jakarta untuk wisata maka akhirnya kita akan pergi ke tempat tempat wisata.Lalu apa niat untuk seorang muslim dalam melakukan sesuatu? Pada dasarnya motivasi yang harus dimiliki seorang muslim dalam melakukan sesuatu bisa digolongkan menjadi 3 hal: 1. Beribadah kepada Tuhan 2. Berguna bagi Masyarakat 3. Meningkatkan kualitas pribadi 2.Ihsan.Ihsan maksudnya adalah beribadah seolah olah melihatnya.Jika kita selalu melihatNYA tentu kita akan berusaha berhati-hati dalam bersikap.Untuk mencapai tahap ini secara konsisten tentu tidak mudah. Kebanyakan dari kita mencapai tahap ini pada saat-saat tertentu sehingga kadang-kadang kita bisa jujur dilain waktu kita masih sering berbohong.Jika kita tidak bisa melihatnya yakinlah bahwa Alloh selalu melihat kita. 3. Mujahadah.Mujahadah adalah perjuangan lahir batin untuk meluruskan atau memperbaiki niat sehingga dapat konsisten mencapai maqam ihsan.Perjuangan ini adalah melawan hawa nafsu kita sendiri karena sesungguhnya musuh terbesar manusia adalah hawa nafsunya sendiri. Meskipun begitu perjuangan melawan hawa nafsu bukan untuk mematikannya tetapi sekedar menundukkannya untuk dipakai untuk penyemangat dalam beribadah kepada tuhan.Sebenarnya konsep tasawuf modern juga berlaku untuk semua hal. Artinya seseorang yang ingin sukses dalam dunia bisnis misalnya, harus dimulai dari kuatnya tekat atau motivasi, ihsan (berupa kejujuran dan tanggungjawab) dan juga mujahadah (kerja keras). Ketiga hal di atas dapat kita jadikan bahan koreksi apabila kita menemui kegagalan dalam bisnis ataupun dalam mengatasi permasalahan hidup sehari-hari. Wallahu allam. Tasawuf di Masa Modern Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan, Merupakan rodapenggerak utama islam pada masanya.Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awalabad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkandengan gerakan-gerakan Islam umumnya.Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya, dan sering memimpin gerakanpembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan dominasi asing ataukolonial. Maka, misalnya, mereka terlibat jauh dalam gerakan politik sepertikebangkitan di Maroko dan Aljazair melawan Prancis , dan pembangunankembali masyarakat dan pemerintahan Islam di Libya, yang sebagian besar dilakukan oleh para anggota tarekat Sanusi. Di Nigeria utara, Syekh 'Utsmandan Fobio (m. 1817), seorang anggota Tarekat Qadiriyah, memimpin jihadmelawan para penguasa Habe yang telah gagal memerintah menurut syariatIslam, yang telah mengadakan pembebanan pajak yang dibuat-buat, korupsiumum, penindasan, dari menjatuhkan moralitas Islam pada tingkat rakyatmaupun istana. Lebih jauh ke timur, Syekh Muhammad Ahmad al-Mahdi (m.1885), anggota tarekat Tsemaniyah, berhasil menentang pemerintahan kolonial Inggris di Sudan. Fenomena serupa terjadi pula di Timur. Misalnya, kaum sufi Naqsabandiyyah dan Syah Waliyullah menentang kekuasaan kolonial Inggris diIndia. Demikianlah kaum sufi beraksi di banyak negara di masa penjajahan,menentang usaha kolonial untuk menjungkirkan pemerintahan Islam, danberusaha menghidupkan kembali serta mempertahankan Islam yang asli.Mereka sering membentuk atau berada di jantung kelompok-kelompok sosialyang kuat, dan mempunyai banyak pengikut di banyak bagian dunia. Gerakan-gerakan ini tetap berhubungan dan kuat ialah kenyataanbahwa selama abad ke-19 rakyat tidak aktif, dan kendali atas pemilikan tanah serta dengan pengaruh tradisi kultural yang telah lama mapan, memainkanperanan penting dalam stabilitas masyarakat. Namun, di abad ke-20 situasi inimulai berubah secara cepat dan radikalPenjajahan Barat atas kebanyakan negeri Muslim hampir sempurna menjelangakhir Perang Dunia Pertama. Setelah itu, kedatangan para penguasa sekuler dan sering "klien", yang ditunjuk atau disetujui oleh Barat, menentukan suasana.Kepentingan serta pengaruh agama dan kaum sufi menjadi nomor dua, karenaerosi yang cepat dalam nilai-nilai dan gaya hidup masa lalu dan tradisional, danmenjadi bertambah sulit dan berbahaya untuk mengikuti jalan Islam yang aslisecara utuh di negeri-negeri Muslim. Berlawanan dengan apa yang terjadi diTimur, banyak organisasi dan masyarakat spiritual muncul di Barat, seringdimulai oleh para pencari pengetahuan Barat.Kenyataan bahwa banyak orang dari masyarakat Barat mengikuti gerakan-gerakan agama semu ( psendo-religions), seperti gerakan Bahai dan Subud, maupun berbagai cabangBudhisme, Hinduisme, dan agama-agama baruminor lainnya, atau versi-versi agama lama yang dihidupkan kembali untuk menunjukan kehausan dan minat akan pengetahuan spiritual di Barat, dimanaberbagai versi agama Kristen yang lebih berdasarkan pikiran atau emosiketimbang berdasarkan "hati", telah gagal memberikan santapan rohani yangsesungguhnya selama beberapa abad. Gerakanyang lebih terpengaruh pada masa ini adalah gerakan kaum Teosofi dan Mason. Menjelang awal abad ke-20 kitadapati perhatian yang amat besar pada spiritualisme di Eropa maupun AmerikaUtara.Karya para orientalis yang berusaha menggali dimensi spiritual agama-agamaTimur. Sekalipun dalam kerangka konseptual mereka yang khas, termasukIslam, turut memperbesar minat terhadap spiritualisme dan pencarianpengalaman mistik di Barat, melalui tulisan dan terjemahan mereka atas karya-karya asli tentang tradisi-tradisi, kesenian, kultur, falsafah dan agama-agamaTimur. Tasawuf mulai tiba di Barat bersama dengan gerakan spiritual semu ataugerakan spiritual sesungguhnya.Kedatangan banyak guru India dan ahli kebatinan Budha bertepatan denganlahirnya perhatian terhadap tasawuf. Di pertengahan abad ke-20, cukup banyakmasyarakat dan gerakan sufi muncul di Eropa dan Amerika Utara , sebagiandidirikan oleh orang sufi yang sesungguhnya dan sebagian oleh sufi semu.Dengan berjalannya waktu, lebih banyak informasi tentang tasawuf dan Islamyang lengkap dapat diperoleh di Barat. Krisis minyak di Barat dan ledakanminyak di sejumlah negara Timur Tengah juga membantu meningkatkan kontakdenganTimur Tengahdan bahasa Arab serta informasi tentang Islam. Kemudian datang Revolusi Islam Iran di tahun 1979 yang menyebabkanbangkitnya perhatian dunia kepada tradisi Islam. Tidaklah lepas dari konteks, yaitu kediaman Imam Khomeini sebelumnya, dan tempat di mana ia menyambut tamu-tamu rakyatnya di utara Teheran, adalahmasjid dan tempat suci sufi. Sebenarnya Imam Khomeini berkonsentrasi padailmu tasawuf dan 'irfaan (gnosil), pada tahun-tahun awal di sekolah agama di Qum. Tulisan-tulisannya yang awal terutama mengenai makna batin dariberjaga malam (qiyamul-lail ), shalat malam dan kebangunan-diri.Perlu diperhatikan bahwa kita jangan merancukan kualitas spiritual dari seorangindividu dengan kejadian lahiriah. Imam 'Ali, guru semua sufi, hanya mengurusipeperangan selama bertahun-tahun sebagai pemimpin umat Islam. Kejadian-kejadian lahiriah kadang membingungkan penonton dan menyembunyikan cahaya orang-orang semacam itu. Tentang keadaan tasawuf di Barat di masalalu yang lebih belakangan ini, kami mengamati dan menyimpulkan bahwabanyak kelompok yang menerima tasawuf untuk mengambil manfaat daribeberapa disiplin, doktrin, praktik atau pengalamannya, telah mulai terpecahbelahKelompok-kelompok gerakan zaman baru ini yang mengikuti sejumlah gagasanyang diambil dari tasawuf sedang terpecah-pecah karena jalan hidup merekatidak selaras dengan garis umum Islam yang asli, dan oleh karena itu merekatidak mendapat perlindungan lahiriah yang diperlukan untuk melindungi danmenjamin keselamatan gerakan batinnya. Maka selama beberapa dasawarsaterakhir abad ini, kita lihat bahwa kebanyakan gerakan sufi di Barat telahmenguat karena berpegang pada amal-amal lahiriah Islam, atau melemah danmerosot karena tidak berlaku demikian.