Selasa, 08 November 2011

ALLAH MENCUKUPI ORANG YANG BERTAWAKAL

Termasuk di antara sebab diturunkannya rizki adalah bertawakkal kepada Allah Yang Mahaesa dan Yang kepada-Nya tempat bergantung. Insya Allah kita akan membicarakan hal ini melalui tiga hal:

Pertama, yang dimaksud bertawakkal kepada Allah.
Kedua, dalil syar'i bahwa bertawakkal kepada Allah termasuk diantara kunci-kunci rizki.
Ketiga, apakah tawakkal itu berarti meninggalkan usaha ?

Pertama, Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah

Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan- telah menjelaskan makna tawakkal. Diantaranya adalah Imam Al-Ghazali, beliau berkata : "Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakkali) semata". (Ihya' Ulumid Din, 4/259)

Al-Allamah Al-Manawi berkata : "Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali". (Faidhul Qadir, 5/311)
Menjelaskan makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-Mulla Ali

Al-Qari berkata:
"Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik mahluk maupun rizki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah". (Murqatul Mafatih, 9/156)

Kedua, Dalil Syar'i Bahwa Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki
Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Mubarak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Qudha'i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang".

1) Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbicara dengan wahyu menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rizki. Betapa tidak demikian, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Mahahidup, Yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepadaNya, niscaya Allah akan mencukupinya. Allah berfirman.
"Artinya : Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendakiNya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu". (Ath-Thalaq : 3)

Menafsirkan ayat tersebut, Ar-Rabi' bin Khutsaim mengatakan : "(Mencukupkan) dari setiap yang membuat sempit manusia". (Syarhus Sunnah, 14/298)
Ketiga, Apakah Tawakkal Itu Berarti Meninggalkan Usaha?
Sebagian orang mungkin ada yang berkata : "Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit ?"
Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkannya tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Mahaesa dan Yang kepadaNya tempat bergantung. Dan sungguh para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan- telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata : "Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakkal kepada Allah dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut". (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/8)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau di masjid seraya berkata, 'Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rizkiku datang sendiri'. Maka beliau berkata, 'Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku".
Dan beliau bersabda.
"Artinya : Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung, berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang".
Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka mencari rizki.
Selanjutnya Imam Ahmad berkata, 'Para sahabat juga berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita'. (Dinukil dari Fathul Bari, 11/305-306)
Syaikh Abu Hamid berkata : "Barangkali ada yang mengira bahwa makna tawakkal adalah meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan dengan akal serta menjatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang dilemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat memotong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum syari'at. Sedangkan sya'riat memuji orang yang bertawakkal. Lalu, bagaimana mungkin suatu derajat ketinggian dalam agama dapat diperoleh dengan hal-hal yang dilarang oleh agama pula ?"
Hakikat yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita katakan, 'Sesungguhnya pengaruh bertawakkal itu tampak dalam gerak dan usaha hamba ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya'.

Imam Abul Qasim Al-Qusyairi : "Ketahuilah sesungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah maka hal itu tidak bertentangan dengan tawakkal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba meyakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdirNya, dan terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya". (Dinukil dari Murqatul Mafatih, 5/157)

Diantara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja'far bin Amr bin Umayah dari ayahnya Radhiyallahu 'anhu, ia berkata :
"Artinya : Seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Ikatlah kemudian bertawakkallah".

2) Dan dalam riwayat Imam Al-Qudha'i disebutkan.
"Artinya : Amr bin Umayah Radhiyallahu 'anhu berkata, 'Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah !!, Apakah aku ikat dahulu unta (tunggangan)-ku lalu aku bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal ? 'Beliau menjawab, 'Ikatlah kendaraan (unta)-mu lalu bertawakkallah". (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633, 1/368)
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Dan sungguh setiap muslim wajib berpayah-payah, bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.
Footnote :
1. Al-Musnad, no. 205, 1/243 no. 370, 1/313 no. 373, 1/304; Jami'ut Tirmidzi, Kitabuz Zuhud, Bab Fit Tawakkal 'Alallah, no. 2344, no 2447, 7/7 dan lafazh ini adalah miliknya; Sunan Ibni Majah, Abwabuz Zuhd, At-Tawakkul wal Yaqin, no 4216, 2/419; Kitabuz Zuhd oleh Ibnu Al-Mubarak, juz IV, Bab At-Tawakkul wat Tawaddhu' no. 559, hal 196-197; Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabur Raqa'iq, Bab Al-Wara' wat Tawakkul, Dzikrul Akhbar 'amma Yajibu 'alal Mar'i min Qath'il Qulubi 'anil Khala'iqi bi Jami'il Ala'iqi fi Ahwalihi wa Asbabihi no. 730, 2/509; Al-Mustadzrak 'ala Ash-Shahihain, Kitabur Riqaq, 4/318; Musnad Asy-Syihab, Lau Annakum Tatawakkaluna ala' Allah Haqqa Tawakkulihi no. 1444, 2/319; Syarhus Sunnah oleh Al-Baghawi, Kitabur Riqaa, Bab At-Tawakkul 'ala Allah 'Aza wa Jalla no. 4108, 14/301. Imam At-Tirmidzi berkata, Ini adalah hadits shahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini (Jami'ut Tirmidzi, 7/8). Imam Al-Hakim berkata, Ini adalah hadits dengan sanad shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim (Al-Mustadrak 'ala Ash-Shahihain, 4/318). Imam Al-Baghawi berkata, Ini adalah hadist hasan. (Syarhus Sunnah, 14/301). Dan sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir. (Lihat, Hamisyul Musnad, 1/234). Serta Syaikh Al-Albani menshahihkannya, (Lihat, Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah no. 310, jilid 1, juz III/12).
2. Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabur Raqa'iq, Bab Al-Warra' wat Tawakkul, Dzikrul Akhbar bin Annal Mar'a Yajibu Alaihi Ma'a Tawakkulil Qalbi Al-Ihtiraz bil A'dha Dhidda Qauli Man Karihahu, no. 731, 2/510, dan lafazh ini miliknya; Al-Mustadrak Alash Shahihain, Kitab Ma'rifatish Shahabah, Dzikru Amr bin Umayah Radhiyallahu 'anhu, 3/623. Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata, Sanad hadist ini 'jayyid'. (At-Talkhis, 3/623). Al-hafizh Al-Haitsami juga menyatakan hal senada dalam Ajmau'z Zawa'id wa Manba'ul Fawa'id, 10/303. Beliau berkata, Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari banyak jalan. Dan para pembawa haditsnya adalah pembawa hadits Shahih Muslim selain Ya'kub bin Abdullah bin Amr bin Umayah Adh-Dhamari, dan dia adalah tsiqah (terpercaya). (Op. cit, 10/303)
Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau'il Kitab was Sunnah oleh Syaikh Dr Fadhl Ilahi, dengan edisi Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunah hal. 28-35 terbitan Darul Haq, Penerjemah Ainul Haris Arifin Lc

Sabtu, 16 April 2011

GOLONGAN ORANG YANG MENGINGAT KEMATIAN

Manusia di dunia ini tidak ada yang sama. Setiap orang memiliki perbedaan. Demikian pula dalam mengingat kematian. Tidak semua manusia di dunia ini ingat kepada kematian. Hanya orang-orang yang memiliki ketakwaan dan percaya akan kuasa Allah yang mengerti apa yang akan terjadi pada dirinya sesuai yang digariskan oleh Allah. Namun, lebih banyak lagi golongan manusia yang tidak ingat dan mengerti tentang kematian. Mari kita selidiki golongan-golongan ini.\
Dalam mengingat kematian, kita membagi manusia menjadi tiga golongan:
1. Golongan orang yang tidak mengingat kematian
Golongan orang yang seperti ini adalah golongan orang yang tidak peduli dengan kematian. Menurut mereka, kehidupan di dunia ini kekal. Tidak ada yang dapat menghentikan mereka untuk berbuat apa pun. Mereka telah dibutakan oleh kesenangan duniawi.
Golongan seperti ini tidak menyadari bahwa akan ada kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini. Mereka tidak sadar bahwa segala perbuatan yang telah dilakukan semasa di dunia akan diperhitungkan kelak. Apabila pada akhirya mereka mengingat kematian, mereka bersedih karena akan meninggalkan harta dan kemewahan yang selama ini mereka puja. Oeh karena itu, mereka semakin tidak menyukai kematian, bahkan ada yang membencinya. Hal ini sudah pasti akan membuat mereka semakin jauh dari Allah swt.
Ada juga golongan manusia yang tidak mengingat kematian bukan karena mereka tidak mengetahui hakikat kematian. Akan tetapi, mereka berpikir bahwa kematian hanyalah proses yang harus mereka jalani. Proses ini dimulai dari ketika mereka dilahirkan hingga mereka tua dan akhirnya mati. Mereka berpikr bahwa kematian akan datang di usia tua. Ketika tubuh mereka sudah tidak mampu lagi menjalani kehidupan di dunia ini karena tubuh mereka mengalami penurunan kemampuan hidup. Mereka tidak percaya akan kekuasaan Allah yang dapat mengambil mereka kapan saja Allah kehendaki. Dari sikap tersebut, mereka akhirnya juga tidak percaya mengenai adanya kehiidupan setelah kemtian. Mereka tidak berpikir akan adanya hari pembalasan. Dalam benak mereka, apa yang mereka lakuakan selama di dunia hanya akan mereka terima selama di dunia saja. Jadi, mereka akan berusaha agar kehidupan mereka selamz di dunia berlimpah dengan kekayaan dan kepuasaan.

2. GOLONGAN ORANG YANG BERTOBAT
Golongan kedua ini adalah golongan orang yang dulu pernah melakukan banyak maksiat, tetapi bertobat. Hal ini karena mereka menyadari bahwa kuasa Allah swt. sangatlah besar. Jika Allah telah berkehendak, tidak ada manuisa yang dapat menghindarinya. Mereka sadar bahwa selama ini telah lalai dan meninggalkan ajaran-ajaran Allah swt. Sementara itu mereka tidak tahu, kapan mereka akan kembai pada Allah swt. padahal dosa yang mereka lakukan sangat banyak. Oleh karena itu, mereka bertobat dan memohon kepada ampunan kepada Allah swt. jadi ketika malaikat mau menjemput, mereka telah siap.
Dengan mengingat kematianakan timbul ketakutan dalam diri sehingga tidak akan mengulangi perbuatan yang sama dan mendorong untuk semakin banyak untuk semakin memperbanyak ibadah. Begitu besar harapan Allah swt. akan berkenan menerima tobat yang mereka lakukan.
Oleh karena itu, mereka kemudian membaktikan hidupnya hanya untuk Allah. Mereka berubah menjadi pribadi baru yang semakin mencintai Allah. Mereka akan berusaha enambah ibadah yang mereka lakukan. Mereka akan berlomba-lomba mencai ridho Allah swt. waktu yang tersisa mereka gunakanuntuk mengumpulkan pahala-pahala yang kiranya dapat menghapus dosa-dosa dari kesalahan yang pernah mereka perbuat dahulu.

3. GOLONGAN ORANG YANG SENANTIASA MENYADARI AKAN DATANGNYA KEMATIAN
Golongan yang terakhir ini adalah golongan orang yang mengetahui dan memahami apa hakikat kematian. Mereka tidak takut akan datangnya kematian. Mereka sadar bahwa mereka hanyalah cipaan Allah swt. dan segala sesuatu akan kembali kepada pemiliknya. Rasa cinta mereka yang dalam terhadap Allah swt. membuat mereka menanti kematian. Perasaan menanti tersebut seperti halnya perasaan menanti akan datangnya sang kekasih hati.
Kematian merupakan saat yamg membahagiakan karena mereka akan bertemu dengan Allah swt. yang sangat mereka kasihi. Golongan orang-orang seperti ini benar-benar mengisi hidupnya dengan selalu bertakwa kepada Allah swt.
Bagi beberapa orang, golongan orang yang seperti ini akan dianggap aneh. Hal ini karena mereka benar-benar seperti melupakan kehidupan dunia. Golongan ini telah mematikan hati dan jiwanya untukkehidupan di luar selain Allah swt. kenikmatan dan kemewahan duniawi tidak lagi menggoda mereka. Hanya ada Allah semata yang ,merasuk di dalam jiwa mereka. Semua yang mereka lakukan adalah apa yang memang dikehendaki oleh Allah. Mereka melebur diri ke dalam nikmat-Nya beribadah kepada Allah. Semua itu mereka lakukan karena rasa cinta yang teramat dalam kepada pencipta-Nya.